BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Studi-studi
agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian
agama sebelum abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain,
sinkritisme, penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh
semangat dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi
studi islam mengalami perubahan.
Adapun
studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi ini,
pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan
kepada allah swt. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak
dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai
pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Selama ini islam banyak
dipahami dari segi teologis dan normatif.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini agar lebih mudah untuk dipahami maka penulis berupaya untuk
memberikan batasan hingga dapat dimengerti dengan jelas isi makalah ini sendiri
secara baik dengan rumusan sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian studi Islam
2. Bagaimanakah
islam sebagai agama yang multidimensi ?
C. Tujuan
Masalah
1. Mengetahui
pengertian pengertian studi Islam
2. Mengetahui
bagaimana islam sebagai agama yang multidimensi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Studi Islam
Studi
Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic
Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi
pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan
terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis
untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk
atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan
ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[1]
Studi
Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam
yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang
mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya
membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan,
3) Islam bermuara pada kedamaian.[2]
Usaha
mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan
oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh
orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam
sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan
oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi
keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran
Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan
di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari
seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat
Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun
sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam
tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik
yang bersifat positif maupun negatif.
Para
ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum
orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang
dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi
Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan
studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan
tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan
praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat
Islam. Nmaun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis
yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap
Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa
bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam
sendiri.
Kenyataan
sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah
memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi
kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner,
serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat
objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan
doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits
–yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan
perkembangan zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku
serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan
perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam
terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang
demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam
studi keislamannya.[3]
B. Islam
Sebagai Agama yang Multidimensi
1.
Agama
Sebagai Dimensi Keimanan
Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa antara
lain dapat ditentukan dengan kwalitas pendidikannya, sebab pendidikan dapat
meningkatkan derajat ilmu pengetahuan dan tingkah laku manusia ke arah yang
lebih baik. Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya
mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya, sesuai
kerangka nilai tertentu.[4]
Ilmu pengetahuan dan perilaku yang ada pada
manusia akan memberikan kemashlahatan bagi dirinya dan orang lain manakala
disertai dengan keimanan kepada Allah Swt. dan unsur lainnya yang wajib
diimani. Pendidikan yang terlepas dari keimanan akan menghasilkan manusia
sebagai anak didik yang tidak berguna bahkan merugikan berbagai pihak.
Negara kita Indonesia telah dilanda
krisis multi dimensional yang sebab pertamanya adalah krisis akhlak.
Di berbagai daerah telah terjadi berbagai tindakan kejahatan antara lain:
pembunuhan, perampokan, prostitusi, dan korupsi di semua lini yang sampai saat
ini masih belum bisa dihapuskan. Menurut Ahmad Tafsir terjadinya kenyataan di
negeri ini karena kesalahan dalam pendidikan, yaitu pendidikan nasional di
Indonesia tidak mengarahkan manusia kepada pendidikan keimanan dan akhlak
mulia, tetapi lebih terarah pada penciptaan manausia Indonesia yang utuh, yang
tidak jelas wujud dan kriterianya.[5]
Islam jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa
manusia akan dilanda kerugian yang beraneka ragam baik di dunia apalagi di
akhirat jika manusia melepaskan diri dari keimanan, 'amal shaleh, dan saling mengingatkan.
Peringatan Allah Swt. kepada manusia ini terungkap dalam Q.S. al-'Ashr: 1-3:
و العصر. ان الانسان لفي خسر. الا الذين أمنوا و عملوا
الصالحات وتواصوا بالحق و تواصوا باالصبر (العصر : 1-3)
Demi masa(1); sesungguhnya manusia benar-benar
berada dalam kerugian(2); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shalih dan saling menasihati tentang kebenaran serta saling menasihati tentang
kesabaran (3). Al-'Ashr: 1-3)
Q.S. al-'Ashr ini oleh penulis akan
dijadikan titik tolak dan snadaran utama pembahasan dalam mengkaji masalah
pendidikan Islam yang berdimensi keimanan.
Mengenai tafsir ayat
al-Qur'an surat al-'Ashr tentang dimensi keimanan dalam pendidikan
Islam dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
a.
Manusia
secara menyeluruh akan mendapatkan kerugian yang beraneka ragam jika melepaskan
diri dari keimanan, 'amal shalih dan saling menasihati di antara sesama manusia
mengenai kebenaran dan kesabaran;
b.
Manusia
terdiri dari tiga unsur, yaitu: jasmani, akal dan qalb (hati). Dan tempat
bersemayamnya iman adalah hati. Selain dari itu juga hati merupakan tempat
bersarangnya hawa nafsu;
c.
Jika
hawa nafsu yang lebih mendominasi hati, maka hati cenderung menjadi keras, berpenyakakit
dan tertutup untuk menerima hidayah yang pada akhirnya manusia yang mempunyai
hati itu mendapat kerugian yang beraneka ragam. Tetapi jika iman yang yang
mendominasinya, maka ia akan memperoleh keberuntungan;
d.
Pendidikan
yang dapat mengantarkan pada kemaslahatan dan kebaikan dunia - akhirat yang
paling penting adalah pendidikan terhadap hati dengan keimanan, Sebab jika
objek pendidikan hanya ditujukan kepada akal dan jasmani akan melahirkan
ilmuwan-ilmuwan, atlit-atlit dll. yang tidak beriman dan berakhlak mulia.
e.
Pendidikan
keimanan terhadap hati harus terwujud secara informal di lingkungan keluarga,
non formal dan formal yang dituangkan dan teraflikasikan dalam semua komponen
pendidikan.
2.
Agama
Sebagai Dimensi Akal
Para filosof membuktikan adanya beragam dimensi
pada diri manusia. Pada tahapan pertama, mereka membuktikan adanya “dwi
dimensi” yang dimiliki oleh manusia dan menjabarkan argumentasi untuk dimensi
non-materi-nya, dengan mengatakan bahwa materi memiliki tiga karakteristik,
pertama mengalami perubahan, kedua bisa dibagi, dan ketiga memiliki dimensi
ruang dan waktu. Jika ketiga sifat ini diperoleh pada suatu realitas, berarti
realitas tersebut adalah materi, dan apabila ketiga karakteristik materi ini
tidak ditemukan pada sebuah realitas, maka realitas tersebut adalah non-materi
atau metafisika. Dan karena jiwa manusia sama sekali tidak memiliki ketiga
karakteristik tersebut, jadi jiwa manusia merupakan sebuah realitas non-materi
dan metafisik.
Jadi, karena apa yang dipelajari oleh jiwa pada
masa kanak-kanak secara permanen diketahuinya hingga usia lanjut, berarti apa
yang diketahuinya tersebut konstan dan tidak berubah. Demikian juga dengan jiwa
manusia yang merupakan esensi tak berkomposisi (basith), invisible, dan
tak bisa dibagi, dengan arti bahwa tidak bisa digambarkan bahwa kesempurnaan
ruhani sebagaimana keberanian dan ilmu manusia, bisa dibagi menjadi dua bagian.
Tentu saja masing-masing kesempurnaan ini memiliki tingkatan dan antara
tingkatan lemah dan tingkatan kuat terdapat perbedaan yang sangat jelas,
tingkatan ilmu dan keberanian yang lemah bukan merupakan setengah dari ilmu dan
keberanian. Jadi, apabila segala kesempurnaan jiwa tidak bisa dibagi, maka
dikatakan bahwa jiwa pun mustahil terbagi.
Demikian juga jiwa manusia tidak terikat oleh
ruang dan waktu, ketuaan dan perubahan hanya berkaitan dengan tubuh. Jiwa
manusia tidak akan mengalami ketuaan, dengan demikian terbukti bahwa jiwa
manusia adalah non-materi. Jadi, karena jiwa manusia tidak menerima salah
satupun dari tiga karakteristik materi di atas (yaitu mengalami perubahan, bisa
dibagi, dan memiliki dimensi waktu), maka harus dikatakan bahwa jiwa merupakan
sebuah realitas non-materi.[6] Lalu
para filosof Islam menganggap bahwa kesatuan yang merupakan dimensi non-materi
manusia tak lain adalah ruh atau jiwa manusia yang mencipta seluruh daya dan
kekuatan manusia. Demikian pula prinsip “An-nafs fi wahdatiha kull al-quwa
(jiwa dalam kesatuannya meliputi seluruh potensi dan daya)” menjelaskan
tentang poin berikut bahwa jiwa dengan kesatuan dan ke-basith-annya
telah menjadikannya memiliki seluruh potensi dan kekuatan bagi manusia.
Tingkatan tertinggi jiwa manusia terletak pada akal dan rasionalitasnya, dimana
dengan adanya akal dan rasionalitas ini bisa mengantarkannya pada kedudukan insani
yang mulia dan memahami persoalan-persoalan tertinggi ilmiah dan makrifat.
Akal yang karena dipandang sebagai sebuah
sumber pengetahuan atau alat makrifat serta sekaligus berhubungan secara
langsung dengan dimensi-dimensi teoritis dan ilmiah, maka sangat urgen untuk
dibahas dan dipaparkan. Akal, meskipun memiliki begitu banyak istilah-istilah
khusus, secara umum dapat dibagi dalam dua realitas:
a.
Akal Teoritis
Akal ini, menurut sebuah istilah, hanya
terkhusus untuk menganalisa dan mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat
teoritis, serta wilayah penilaian dan keputusan akal ini senantiasa berada pada
aspek-aspek “ada” (keberadaan) atau “tiada” (ketiadaan). Dalam wilayah akal ini
terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk sebuah pemikiran teoritis
pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah.
Hasil-hasil yang diperoleh dari akal ini adalah suatu kebenaran yang berkaitan
dengan perkara-perkara eksistensial atau masalah-masalah kewujudan. Hal-hal
yang dibahas di dalamnya misalnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan
keberadaan Nabi, urgensi eksistensi alam akhirat, dan yang semacamnya.Para
filosof Peripatetik (Masyain) menyepakati empat tingkatan akal, sebagai
berikut:
1)
Akal Primer
(primary material intellect), yang hanya merupakan tingkatan potensi belaka
dan sama sekali belum bisa menangkap realitas universal.
2)
Akal potensial
(potential intellect), pada tingkatan ini, akal dan pikiran manusia bisa
memahami masalah-masalah universal yang gamblang dan aksioma, seperti
pengenalan masalah-masalah yang bisa dipahami dengan penyaksian misalnya
(universal lebih besar dari partikular) dan (sesuatu yang ada lebih baik dari
yang tiada) dan aksioma-aksioma sejenis ini.
3)
Akal aktual (actualized
intellect), dalam tingkatan ini, masalah-masalah ilmiah yang mendetail
dicapai dari hal-hal yang aksioma untuk kemudian melahirkan bentuk argumentasi,
sebagaimana ketika kita mengatakan, Zaid adalah manusia dan setiap manusia
memiliki kemampuan untuk memahami. Jadi, Zaid memiliki kemampuan untuk
memahami.
4)
Akal capaian
(acquired intellect), manusia yang mencapai tingkatan ini bisa jadi dalam
seratus tahun hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada tingkatan
ini, manusia telah menjadi “malaikat” non-materi, tak satupun realitas yang
tidak jelas baginya, dia mengetahui semuanya, dan tak sesuatupun yang bisa
memalingkan perhatiannya dari mengingat-Nya, dan ia sebagai manifestasi nama
Ilahi “Ya man lâ yasyghuluhu sya’i ‘an sya’i”.[7]
b.
Akal Praktis
Akal ini, menurut istilahnya, hanya menganalisa
persoalan-persoalan praktis, dan wilayah penilaian serta keputusannya berada
pada dimensi-dimensi “keharusan” (kemestian dan kewajiban) dan “larangan” (ketidakbolehan).
Hasil-hasil yang dicapai dari akal ini adalah suatu kebenaran yang bersifat
relatif atau hal-hal yang tidak terkait langsung dengan masalah-masalah
eksistensial. Ranah dan domain pembahasannya misalnya berkaitan dengan hak-hak
manusia seperti hak kebebasan, hak kepemilikan, hak tinggal, dan hak-hak
lainnya. Potensi-potensi yang berada di bawah akal praktis ini antara lain
adalah syahwat dan emosi, dan melalui kedua potensi inilah akan terbentuk
berbagai tahapan-tahapan berbeda dari kehendak, iradah, dan keinginan.
AlFarabi dalam definisi tentang akal ini
mengatakan, “Akal praktis adalah akal yang dengannya seseorang mampu mengetahui
tentang hal-hal yang terpuji dan tercela, hal-hal yang harus dilakukan dan yang
dijauhi, dan mampu menentukan rangkaian dan sistimatika segala perbuatannya.[8] Para
filosof menyepakati adanya tingkatan akal praktis, sebagai berikut:
1)
Pensucian (takhliyah).
Maksudnya adalah mensucikan batin dari segala perbuatan dan akhlak yang tak
terpuji, seperti riba, bakhil, hasad, dan akhlak-akhlak tercela lainnya serta
mengikuti hawa nafsu yang membawa manusia mendekati sifat-sifat binatang;
2)
Penghiasan (tahliyah).
Artinya adalah batin seseorang yang telah suci dari akhlak-akhlak tercela,
kemudian menghiasi batinnya dengan akhlak-akhlak yang mulia, semacam keadilan,
ibadah, sabar, tawadhu’, dan sifat-sifat mulia lainnya;
3)
Fana, yang
terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a)
Fana dalam
perbuatan, bermakna bahwa seluruh gerak, diam, dan perbuatannya terwarnai oleh
perbuatan Ilahi. Seluruh perbuatan merupakan manifestasi kodrat dan perbuatan
Tuhan, hal ini identik dengan makna “Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”[9]
b)
Fana dalam
sifat, bermakna bahwa seluruh sifat terpancar dari sifat Tuhan, dan segala yang
indah, cantik, mulia, dan berilmu merupakan manifestasi dari kesempurnaan
Tuhan. Dalam makna “Alhamdulillah” (Segala Puji bagi Allah) dikatakan bahwa
segala rasa syukur dan pujian hanya milik dan untuk Tuhan;
c)
Fana dalam Tuhan,
bermakna bahwa seluruh alam merupakan murni hubungan dan korelasi dari
Tuhan, maka dari itu tak ada wujud yang bersifat mandiri selain-Nya. Tingkatan
ini identik dengan makna, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”[10][11]
c. Akal dalam Perspektif Agama
Antara agama dan akal terdapat hubungan dua
arah dimana hubungan ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga
mustahil membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya
bisa dijabarkan dalam bentuk yang lain.
Agama dari satu sisi telah menjelaskan urgensi
akal dalam dua dimensi teoritis dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya
Allah Swt berfirman, “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti
itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu
mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12)
Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh
langit adalah keberilmuan seluruh manusia, dan karena akal teoritis memegang
tanggungjawab dalam pemikiran dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa
hasil-hasil pemikiran yang berangkat dari penciptaan keseluruhan langit dan
alam, sangat bergantung pada akal teoritis ini, dan manusia ketika meraih
tujuan hakiki penciptaan alam, maka niscaya dia telah berhasil memanfaatkan dan
menggunakan secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan perantaraan akal
teoritis inilah manusia akan mampu menyingkap berbagai hakikat-hakikat alam dan
menambah luas pengetahuan-pengetahuan teoritisnya.
Agama di samping menyebutkan tentang nilai
penting akal, juga mengajarkan tentang arah dan alur berpikir yang benar serta
metodologi yang benar dalam memilih motivasi-motivasi, berarti dengan demikian,
agama tidak akan meninggalkan dan melepaskan akal secara sendirian, melainkan
dia akan membimbing akal untuk memperoleh hakikat-hakikat dan
pengetahuan-pengetetahuan dengan menjelaskan berbagai metode dan cara-cara yang
benar.
Setelah memperhatikan sebuah sisi dari suatu
pemikiran, memberikan perhatian pada arah lainnya pun merupakan suatu hal yang
sangat penting dan berharga. Pada sisi ini, nilai-nilai akal dan pemikiran
tersebut telah dikenali melalui argumen-argumen yang kokoh dari sudut pandang
agama. Penegasan nilaia-nilai ini akan terbukti dengan memperhatikan empat hal
berikut ini:
1)
Tolok ukur dan
ruang lingkup syariat adalah hukum Tuhan
2)
Satu-satunya
sumber hukum Tuhan adalah kehendak Tuhan
3)
Dalil-dalil
syar’i hanyalah penyingkap dari kehendak Tuhan
4)
Dalil-dalil
syar’i terbagi dalam dua kelompok yaitu aqli (rasio dan akal) dan naqli
(teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan dalil naqli (tekstual) adalah
kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam Ahlulbait Nabi.
Konklusi yang bisa diambil dari keempat poin di
atas adalah bahwa akal sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab
suci dan hadis-hadis (baik yang diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir),
ijma’ para ulama, dan yang sejenisnya- juga memiliki keistimewaan dan berperan
sebagai hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap dari kehendak dan hukum Tuhan.
Oleh karena itu, akal murni juga merupakan hujjah Tuhan dan sepadan dengan
teks-teks agama yang otentik. Dengan demikian, akal sama sekali tidak memiliki
perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar’i lainnya.
Demikian juga menjadi jelaslah bahwa akal
tidaklah bertolak belakang dan bertentangan dengan agama serta tidak terpisah
dari agama itu sendiri. Bahkan inti, pesan, dan kandungan ajaran agama itu
sendiri adalah dibentuk oleh nilai-nilai aqli (rasional dan akal) dan naqli
(teks-teks agama). Jadi yang terkadang bertentangan dan bertolak belakang
secara lahiriah adalah akal dan teks-teks suci agama, bukan akal dan agama.
Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks
yang otentik dan valid merupakan hujjah Tuhan, maka akal murni pun merupakan
hujjah Tuhan, dan kandungan yang berada di dalamnya –dalam bentuk apapun itu–
baik kandungannya yang berupa hukum-hukum fikih dan rukun-rukun keimanan (mulai
dari konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, kenabian, Imamah, dan eskatologi) adalah
tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan kandungan-kandungan yang bersumber
langsung dari teks-teks suci agama. Oleh karena itu, dalam semua persoalan
keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari teks-teks hadis dan al-Quran adalah
tidak berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh dari argumentasi akal. Beberapa
poin penting :
1)
Posisi akal
adalah berhadapan dengan teks-teks suci agama (naqli), bukan berhadapan dengan
agama itu sendiri. Dan merupakan sebuah tindakan yang tidak benar apabila kita
menghadap-hadapkan akal dengan syariat (baca:agama). Jadi yang tepat dan yang
benar adalah agama itu terbagi dalam dua kelompok, argumen akal (aqli) dan
teks-teks suci (naqli)
2)
Keabsahan dan
validitas akal memiliki syarat, sebagaimana halnya hujjiyah dan validitas
teks-teks suci agama
3)
Akal tidak sama
dengan qiyas (baca: qiyas dalam hukum fikih), karena akal adalah hujjah
sedangkan qiyas bukanlah hujjah.
3. Agama Sebagai Dimensi Dimensi Ekonomi, Poliik, dan Sosial
Budaya
Dimensi
ekonomi adalah salah satu aspek yang dapat menyokong keberhasilan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dimensi ekomnomi ini harus diperhatikan
secara serius agar terciptanya pembangunan secara berkelanjutan. Dalam hal ini
tindakan eksploitasi secara besar-besaran menjadi masalah pokok yang sangat
urgent. Banyak dari para pemilik modal kurang memperhatikan aspek ini sehingga
SDA yang ada tidak dapat dimampaatkan dikemudian hari. Hal tersebut diakibatkan
dari konsep hukum lingkungan klasik yang menjungjung tinggi eksploitasi secara
besar-besarn unutk mendaptkan hasi semaksimal munkin dengan waktu yang
sesingkat-sigkatnya. Akibat dari hal tersebut banyak kerugian yang dapat
kita rasakan, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan kerugian Financial bagi generasi
kita kedepan akan mereka rasakan. Dimensi ekonomi ini mengharuskan para
pemilik modal merogoh kocek yang cukup dalam untuk keberlansungan usaha mereka
dan kelestarian alam sekitar. http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=42597. Dalam berita yang dimuat di media
online tesebut dapat kita ketahui bahaya yang dapat dirasakan dikemudian hari.
Hal tesebut dapat dicegah asalkan para pemilik modal mengeluarkn kocek lebih
untuk penanaman pohon, atau pembaharuan lahan dan ganti rugi dari setiap
musibah yang mereka ciptakan. Selain bencana alam dapat diminimalisir, generasi
bangsa dapat pula memampaatkan SDA yang ada dan perlu diingat yang seharusnya
mendapakan untung sebesar-besarnya adalah kita bukan mereka atau dia, hal
terseut selaras dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan dan UUD Pasal 33 ayat 3&4.
Hal
terebut akan lebih asik bila didukung dimensi politik yang jujur dan sesuai
aturan. Dimensi politik adalah tata cara ataupun aturan main untuk pembangunan
itu sendiri. Artinya hal ini menyangkut dengan regulasi dan kebijakan
pemerintah yang dalam hal ini sebagai warga indoesia yang pro-indoesia pula.
Jika dilihat dari pengertian yang tercantum di handout kedua forum ini
menyebutkan bahwa dimensi politik adalah “yang mencangkup proses politik
yang menentukan penampilan dan sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan
degradasi lingkungan pada suatu negara. Dimensi ini juga termasuk peranan agen
masyarakat, struktur sosial dan pengaruhnya terhadap lingkungan.” Dalam
pngertian tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa proses politik yang menentukan
penampilan dan sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi
lingkungan pada suatu negara tersebut bersangkutan dengan pengaturan
pembangunan itu sendiri, baik rtumbuhan penduduk, dan sangsi tegas terhadap
pemerosotan ataupun pemunduran kualitas lingkungan pada suatu negara yng
dikibatka oleh tida teraturnya pembangunan. Jadi dengan adanya aturan ini,
setiap pembangunan harulah memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang telah
ditentukan agar terciptanya Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan. hal ini dirasa sudah sangat ideal, akan tetapi disetiap dimensi
yang ada, selalu saja terselip beberapa masalah yang malah menghambat
Pembangunan berwawasan lingkungan ini berjalan seperti dengan yang diharapkan.
Yang menjadi masalah dalam dimensi ini adalah tidak tegasnya aturan yang ada,
sehingga setiap pasal yang ada hanya menjadi pelengkap UUD saja. Mungkin para pembuat
kebijakan malu terhadap Pasal 1 ayat 3 yang menyebutan negara Indonesia adalah
negara hokum yang artinya hidup di idonesia itu harus ada aturan mainya.
Lanjut,
contoh kasus dimensi politik ini adalah pembuatan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, hal ini salah satu bagian dari
dimensi ini. Dengan demikian aturan
ini merupakan
sarana teknis yang dipergunakan untuk memperkirakan dampak negatif dan positif
yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan
hidup. Dengan dilaksanakannya UU ini, maka pengambilan keputusan terhadap rencana suatu
kegiatan telah didasarkan kepada pertimbangan aspek ekologis.
Terakhir,
kedua dimensi tersebut akan lebih sempurna bila dimensi dimensi sosial dan
budaya turut berkontribusi dalam pembangunan berwawasan linkgkungan. Dimensi
ini megahrapkan adanya penggabungan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu
pengetahuan barat, serta pola pemikiran dan tradisi agama. Artinya manusia
sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, harus dapat melakukan hal tersebut.
Contoh penambangan pasir di kec. Cikalong Kab. Tasikmalaya, dengan adanya mesin
pengeruk pasir dan penyaring pasir yang katanya buatan jerman, kegiatan usaha
penambangan pasir tersebut lebih menghemat waktu dan didesa tersebut letak
penambangan pasir jauh dari lokasi pemukiman warga da yang lebih canggih lagi
mereka mempunyai jam kerja yang tidak mengganggu aktivas agama para pekerjanya.
BAB III
KESIMPULAN
Manusia
secara menyeluruh akan mendapatkan kerugian yang beraneka ragam jika melepaskan
diri dari keimanan, 'amal shalih dan saling menasihati di antara sesama manusia
mengenai kebenaran dan kesabaran. Manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu:
jasmani, akal dan qalb (hati). Dan tempat bersemayamnya iman adalah hati.
Selain dari itu juga hati merupakan tempat bersarangnya hawa nafsu. Pendidikan
yang dapat mengantarkan pada kemaslahatan dan kebaikan dunia - akhirat yang
paling penting adalah pendidikan terhadap hati dengan keimanan, Sebab jika
objek pendidikan hanya ditujukan kepada akal dan jasmani akan melahirkan
ilmuwan-ilmuwan, atlit-atlit dll. yang tidak beriman dan berakhlak mulia.
Antara agama
dan akal terdapat hubungan dua arah dimana hubungan ini berada dalam bentuk
yang sedemikian eratnya sehingga mustahil membayangkan adanya pemisahan di
antara keduanya. Makna hubungannya bisa dijabarkan dalam bentuk yang lain.
Akal sebagaimana
halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan hadis-hadis (baik yang
diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma’ para ulama, dan yang
sejenisnya- juga memiliki keistimewaan dan berperan sebagai hujjah, dalil,
penjelas, dan penyingkap dari kehendak dan hukum Tuhan. Oleh karena itu, akal
murni juga merupakan hujjah Tuhan dan sepadan dengan teks-teks agama yang
otentik. Dengan demikian, akal sama sekali tidak memiliki perbedaan sedikitpun
dengan dalil-dalil syar’i lainnya (baca: teks-teks suci agama).
Dimensi sosial dan budaya turut
berkontribusi dalam pembangunan berwawasan linkgkungan. Dimensi ini megahrapkan
adanya penggabungan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan
barat, serta pola pemikiran dan tradisi agama. Artinya manusia sebagai subjek
sekaligus objek pembangunan, harus dapat melakukan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin,
et.al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005)
M.
Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang:Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)
Yusuf,
Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2005).
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif
Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 2003).
Tafsir Ahmad, Pendidikan Keimanan
sebagai Core Sistem Pendidikan (Upaya Strategis Menyelamatkan Bangsa, (dalam
Ta'dib Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, nomor 2, Agustus 2001)
Rujuk
kitab: Syarh Manzumah Sabzewari.
Qs.
At-Takwir: 29.
Qs.
Al-Baqarah: 115.
[3] Yusuf,
Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2005).
[4] Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif
Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 114.
[5] Tafsir Ahmad,
Pendidikan Keimanan sebagai Core Sistem Pendidikan (Upaya Strategis
Menyelamatkan Bangsa, (dalam Ta'dib Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1,
nomor 2, Agustus 2001), hlm. 131.
[7] Rujuklah: Syarh
Manzumah Sabzewari, hal. 307.
0 komentar:
Posting Komentar