BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Persoalan
Agama merupakan fenomena yang tidak lepas dari sejarah perjalanan kehidupan
manusia. Setidaknya ada lima Agama besar berbeda yang mempunyai penganut di
seluruh dunia[1].
Agama-Agama ini tumbuh dan berkembang sebagaimana yang disampaikan oleh
penganutnya secara turun-temurun. Walaupun secara garis besar Agama-Agama ini
mempunyai aspek-aspek yang sama sekaligus berbeda, misalnya sistem keimanan,
ritual, norma, dan sebagainya.
Begitu
pula sifatnya ada yang inklusif, pluralis, ada pula yang eksklusif,
konservatif; ada yang missionary dan ada pula yang non missionary.
Penelitian Agama perlu dilakukan untuk mengetahui fenomena Agama dalam
kehidupan dan mengetahui perbedaan antaragama agar dapat menentukan sikap yang
seharusnya diambil oleh penganut Agama masing-masing.
Problem
epistimologi studi Islam pada mulanyabertumpu pada idealisme dengan menjadikan
teks-teks suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran, pada perkembangannya
bergerak menuju empirisme dengan memandang bahwa Islam tidak bisa dilihat hanya
dari teks-teks sucinya, karena Islam telah menjadi budaya dalam prilaku
penganutnya. Karena itu studi Islam pada masa modern berkembang dalam berbagai
model pendekatan ilmu pengetahuan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, dan
lainnya.[2]
Problem
Outsider dan Insider juga menjadi bahasa akademik tentang agama.
Siapa yang paling kompeten untuk bicara pada orang lain mengenai Islam, sarjana
muslim sendiri (Insider) atau sarjana Barat dan para orientalis (Outsider)?
Dalam
tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa pemikiran keagamaan kaitannya
dengan masalah studi Agama-Agama (Study of Religons), baik dari kalangan
Islam (Insider) dan di luar Islam (Outsider), seperti halnya
diungkap oleh Muhammad Abdul Rauf “The Puture off Islamic Tradition Nort
America[3].
II.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan Insider dan Outsider ?
2. Bagaimana Peran
Insider dan Outsider dalam Islamic Studies?
3. Bagaimana problematika
Insider dan Outsider dalam Kacamata Abdul Rauf ?
4. Bagaimana
Ciri berfikir Insider dan Outsider?
III.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui definisi Insider dan Outsider!
2. Untuk
mengetahui keberadaan Insider dan Outsider dalam Islamic Studies!
3. Untuk
mengetahui problematika Insider dan Outsider dalam Islamic
Studies!
4. Untuk
mengetahui ciri berfikir Insider dan Outsider!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Insider dan Outsider
Dalam studi Agama kontemporer, telah terjadi revolusi pendekatan dan metode pemahaman keagamaan dari yang
semula pemahamannya hanya terbatas pada idealis menuju ke arah historisitas,
dari yang hanya terbatas doktrin ke arah entitas sosiologi,
dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
Terkait dengan kompleksitas studi keagamaan tersebut, Knott dalam tulisannya Insider/Outsider Perspektif membuat
pemeteaan pendekatan studi agama dalam perspektif Insider dan Outsider.
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam tentang Insider Outsider,
dan problematikanya, disini perlu dijelaskan pengertian Insider dan Outsider. Apakah
Insider dan Outsider itu? Kata Insider dalam kamus ilmiah populer berarti orang
dalam, yakni orang yang mengetahui benar tentang rahasia atau seluk beluk di
dalamnya. Sedangkan kata Outsider mempunyai orang luar.[4]
Insider adalah para pengkaji agama
yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan Outsider adalah
para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan.
Yang menjadi persoalan adalah apakah dari kalangan Insider maupun Outsider
dalam penilaian benar-benar obyektif dan bisa di pertanggungjawabkan, karena
latar belakang dan jerat histosris yang melekat pada Insider maupun Outsider.
Banyak kalangan yang menaruh pandangan negatif pada pendapat Outsider. Adanya
indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya kepentingan-kepentingan
Barat terhadap Islam adalah salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk
terus menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada
wilayah tersebut.
Dari gambaran diatas memberikan indikasi bahwa banyak analisis dari
kalangan Outsider yang tidak bisa di terima oleh Insider, dan begitu juga
banyak analisis Insider yang dipandang sebelah mata oleh Outsider karena adanya
subjektifitas yang menjerat Insider. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut
hanya akan menimbulkan miss-understanding yang dapat berujung pada konflik.
B.
Peran Insider dan Outsider dalam Islamic
Studies
Studi agama merupakan salah studi yang memilik posisi penting dalam
pengembangan keilmuan. Dalam makalah ini, studi agama yang dimaksud lebih
menjurus agama sebagai religious lives atau kehidupan keberagamaan yang
berbeda jauh dengan theologi keagamaan. Kajian agama sangat berbeda dengan
kajian-kajian yang lainnya, kajian agama selalu memunculkan hal-hal baru. Knott
dalam tulisannya menyebutkan bahwa hal ini muncul karena Agama merupakan
wilayah yang tidak mudah diakses bagi
orang luar. Pada tahun 1991 para
sarjana Barat mengkaji mengenai Sikhism, McLeod Darshan Singh
menyatakan:
“para
penulis Barat berusaha untuk menafsirkan dan memahami Sikhism sebagai Outsider.
Yang paling penting, agama adalah sebuah area yang tidak mudah dipahami oleh Outsider,
orang asing atau partispan. Agama secara mendalam tidak dapat dipahami kecuali
oleh partisipan dengan mematuhi beberapa syarat”.[5]
Pembahasan Outsider dan Insider sebagaimana yang ditulis oleh Kim Knott
muncul karena dilatar belakangi oleh kajian tentang Sikh pada tahun 1980-an di
India. Yang ditandai dengan adanya perdebatan seputar motivasi dan kontribusi
para sarjana yang menulis agama Sikh. Sehingga muncul pertanyaan siapa yang
dianggap memahami dan merepresentasikan Sikh?, kepentingan-kepentingan politis
apa yang melatar belakangi hal itu?, serta pendirian epistemology para pengkaji
tersebut.[6]
Dalam studi Islam, posisi Insider dan Outsider sebagaimana pernyataan Kim
Knott, pengalaman keagamaan yang ada pada diri Insider ditampilkan kemudian
direspons oleh Outsider, dengan mempertimbangkan batas-batas objektivitas dan
subjektivitas yang terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh
sikap empati dan analisis kritis.[7] Dalam posisi ini, Insider dan Outsider
saling berbagi keseimbangan persepektif dalam sejarah studi agama.
Dari keterangan di atas penulis dapat menarik
kesimpulan mengenai peran Insider Outsider dalam Islamic Studies yaitu sebagai
pengkaji ilmiah yang meneliti tentang Agama dengan menggunakan metode dan
beberapa pendekatan untuk menghasilkan data empirik dari penelitian tersebut
baik itu dari pihak Insider dan Outsider.
C.
Problematika Insider dan Outsider
dalam Kacamata Muhammad Abdul Rauf
Problem Insider dan Outsider, menyunting dari esai Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s
interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View. Kajian Insider dan Outsider
berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam
menafsirkan dan memahami Islam. Insider adalah para pengkaji Islam dari
kalangan muslim sendiri. Sementara Outsider adalah sebutan untuk para pengkaji
non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam bentuk
analisis-analisis dengan metodologi tertentu.
Yang dipersoalkan adalah apakah para pengkaji Islam dari Outsider
benar-benar obyektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas
ilmiah dilihat dari optik Insider? Dalam hal ini Abdul-Rauf menolak validitas
para pengkaji Outsider alasannya karena mereka mengkaji Islam atas dorongan
kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas
daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu berarti
“kajian ketimuran” (oriental studies) yang sebenarnya dilakukan oleh
intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa.[8]
Dengan demikian, studi Islam dalam optik Outsider penuh bias, kepentingan,
dan barat sentris. Membaca karya para Outsider tentang Islam harus dilakukan
dengan kritis dan penuh hati-hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks
suci yang untuk dapat memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki
para pengkaji Outsider.
Abdul Rauf banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi Islam Barat.
Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya,
agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya
(cultural supremacy).[9]
Abdul Rauf sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji
Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa
yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan
kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja
untuk ‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati
lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk
mendefinisikan dirinya.
Pada awal tulisannya, Abdul Rauf mengulas tentang bagaimana usaha Barat
untuk mengkoloni Islam melalui pendidikan, disitu ia memberikan contoh kasus
modernisasi-sekularisasi yang akan dilakukan Barat kepada Univeritas Al-Azhar
pada tahun 1961.
Menurutnya jika reformasi tersebut terjadi, maka keilmuan Islam tradisional
yang ‘otentik’ sedikit demi sedikit akan mengecil pengaruhnya. Ditambah lagi
dengan adanya gelombang teknologi informasi yang meruntuhkan sekat-sekat
kebudayaan dan bangsa, maka tidak heran jika nanti umat Islam akan ‘berwajah
dan berjiwa’ Barat dan meninggalkan ‘wajah dan jiwa’-nya sendiri, yakni Islam.
Untungnya, ketika itu umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar
menolak sehingga reformasi pun tidak jadi dilakukan. Meski demikian, Barat
berhasil mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan
memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.[10]
Dengan ini maka ketakutan-ketakutan sebagaimana di atas akhirnya terjadi
pula. Pendidikan Islam tradisional ‘otentik’ semakin kecil perannya, dan
pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara
Islam (bukan Negara Islam namun Negara yang rakyatnya mayoritas Islam) Lembaga
pendidikan Islam dipersempit perannya, yakni hanya sebagai lembaga Pendidikan
agama. Pada masa inilah (abad pertengahan) dalam tubuh Islam terjadi dikotomi
antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya tidak pernah terbesit dalam
benak Islam, sebab menurut Islam semua ilmu adalah Islam atau Ilahiyah.
Dengan adanya dikotomi keilmuan tersebut, keilmuan Islam untuk Timur
(Islam) dan keilmuan non-Islam untuk Barat (Amerika dan sebagian Eropa), maka
kemudian memunculkan metode dan pendekatan yang berbeda antara sarjana Barat
dan sarjana Muslim dalam mengkaji Islam. Barat cenderung menggunakan metode
ilmiah dan pendekatan histories dan Sarjana Muslim cenderung teologis. Studi
Islam Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan colonial untuk belajar dan
memahami masyarakat yang mereka kuasai, sementara Islam didorong oleh sikap
pertahanan diri. Selain itu, menurut Abdul Rauf para Sarjana Barat dalam
mengkaji Islam sangat dipengaruhi oleh ‘pra-anggapan’ negartif yang menyatakan
bahwa Islam adalah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan
dibawa oleh nabi palsu dan suka seksualitas. Oleh karena itu maka hasil akhir
dari kajian Barat sering tidak ‘Objektif’ dan menyakiti hati umat Muslim.
Studi Islam yang dilakukan di Barat menyimpan segudang problematika yang
perlu segera disikapi dan ditanggulangi. Salah satunya, persoalan peneliti
Barat atau Orientalis sebagai Outsider dalam memahami Islam memiliki persoalan
yang tidak remeh, mengingat kenyataan beberapa karangan beberapa Orientalis
sangat bermasalah menurut kaca mata kaum Muslim. Muhammad Abdul-Rauf mempersoalkan hal ini secara kritis. Walaupun
dia tidak memungkiri beberapa Orientalis yang fairminded yang berjasa dalam
melakukan studi yang baik terhadap Islam, seperti pembelaan Henri Corbin
terhadap Filsafat Islam di Persia, namun dia tidak bisa berkompromi dengan para
peneliti luar yang melewati batas keimanan kaum Muslimin. Baginya, “Tapi akan
berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan sebagai muncul
dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa dikatakan mengenai Islam
sehubungan dengan tempat dan waktu di mana ia muncul, (tapi) keunikan dan klaim
kebenarannya di hadapan para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.”
Tuntutan keras Abdul-Rauf di atas menandakan dibutuhkannya sebuah
pendekatan baru yang lebih memadai dalam memahami Islam, mengingat sejarah
telah memperlihatkan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa
Orientalis karena sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya.
Hal ini bisa dilacak dari berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam
dengan dalih keilmiahan.
Di satu sisi, seorang peneliti luar (Outsider) dituntut untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh dan valid mengenai Islam yang mereka teliti, sesuai dengan
pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (Insiders).
Namun di sisi yang lain, Outsiders itu juga harus menyampaikan dan
menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat
yang notabene belum banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa
khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan bias kultural
dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi dari penelitian si
peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.
Namun permasalahan kita di sini belum sejauh itu, yakni bagaimana sang
peneliti itu sendiri mendapatkan informasi yang memadai tentang Islam. Jawaban Solipsistik
tentu tidak akan memuaskan terhadap pertanyaan krusial ini, mengingat terkadang
orang luar justru lebih memahami kita ketimbang diri kita sendiri. Atau dengan
kata lain, terkadang seorang Orientalis lebih memahami beberapa aspek Islam
ketimbang orang Muslim sendiri tidak bisa dipungkiri. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa sumbangsih orientalis dalam kajian-kajian keislaman sangat
besar, misalnya dalam menunjukkan pengaruh peradaban Islam terhadap peradaban
Eropa.
Berdasarkan pada hal-hal di atas, menurut Abdur Rauf Para Sarjana Barat
pengkaji Islam harus melepaskan ‘pra-anggapan’ tersebut dan menghiraukan
pendapat dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk mengkaji
Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana Barat harus
menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu saja
sebagaimana yang dikatakan oleh umat Islam. Disini terlihat jelas kritik metode
Abdur Rauf atas metode studi Islam Barat,dari explanation ke emphatic atau
understanding.
Selain itu, untuk membuat pemahaman komprehensif Barat atas Islam, Abdur
Rauf juga menyarankan pada para sarjana dan umat muslim untuk mampu menyuarakan
dirinya pada Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi
serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Hal ini, menurut hemat saya,
ditujukan Abdur Rauf supaya umat muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat,
bukannya sebaliknya sebagaima yang terjadi selama ini, yakni didekte dan
diimajinasikan oleh Barat. Singkatnya, Abdur Rauf tidak menolak reformasi
secara keseluruhan, namun harus disesuaikan konteks dan skup wilayahnya.
Namun, Abdul Rauf juga berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan
Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang
menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa
orientalis[11], beliau
tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak
semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di
antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf
tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan
orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang
menulis bersikap tidak jujur.
Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang
bermaksud untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac
Donald yang secara eksplisit menginginkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan
Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam.
Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu
lagi menggunakan data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun
tentang Islam tetap sah adanya, sebab siapapun bebas berbicara tentang
keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan apapun di
dunia. Husain menilai bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari etika
akademik dan keilmuan, yang
tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam.
D.
Ciri
berpikir Insider & Outsider
Banyak ragam cara berpikir seseorang dalam meneliti dan mengkaji sebuah kajian (Agama) yang kaitannya dengan sesuatu yang
berasal dari wilayahnya dalam hal ini penulis menyebutnya Insider, dan dari
luar wilayahnya (Outsider).
Sepertihalnya paparan metodologis Russell T. McCutcheon dalam memahami
Agama merupakan suatu konsep yang dapat dijadikan sebagai opsi untuk memahami
Agama secara komprehensif multi dimensi. Paparan tersebut merupakan suatu
konsep dialog antar umat beragama dalam memahami suatu keyakinan yang menjadi
jalan hidup (Way Of Life). Sebagai orang luar (Outsider) kaitannya dengan
kajian Islam, konsep metodologi tersebut tentu saja tidak berangkat dari sebuah
keyakinan, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam (Insider),
tetapi dari suatu asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan
perspektif metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Dengan memposisikan diri kita
sebagai Insider dalam Islam, kita harus mengakui bahwa umat Islam terkadang cenderung
bersikap apriori terhadap hal-hal yang berasal dari luar (Outsider) tanpa
mengkajinya lebih mendalam terlebih dahulu.
IV.
KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan dan pandangan terhadap Outsider tersebut di atas,
tampaknya para pengkaji peradaban Islam masih harus mendefinisikan sikapnya
yang lebih jelas, obyektif, dan konsisten terhadap Outsider atau dengan kaum
orientalis. Hal itu dikarenakan para sarjana keislaman modern sendiri sekarang
ini banyak yang mengembangkan otoritas akademiknya berdasarkan pengalaman
akademik mereka dengan kaum orientalis atau dengan para sarjana Barat yang
non-Muslim.
Abdul Rauf berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan Outsider.
Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang
menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa
orientalis.[14], beliau tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis
Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak
berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded
Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari
kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis
yang menulis bersikap tidak jujur.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai akhir dari pembahasan ini,
penulis menyatakan rasa salut pada upaya serius para sarjana Barat yang
membantu “kita” lebih banyak belajar tentang Islam. Melalui upaya yang
melelahkan, banyak dari mereka telah memberi kontribusi bermanfaat bagi
pengetahuan kita tanpa menyalahi subtansi keilmuan Muslim, Nabi, atau makna
al-Qur’an.
Orang-orang semacam itu memandang
Muslim sebagai masyarakat yang mempunyai kebenaran tersendiri, tidak sebagai
subyek tendensi pribadi dan kelompok atau hanya sebagai obyek rasa ingin tahu.
Akan tetapi, tidak menafikan juga adanya banyak sarjana Barat non-Muslim yang
memang dengan sengaja mendiskreditkan umat Islam dikarenakan tendensi pribadi
atau kelompoknya, yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang ekonomis,
politis, maupun kultural. Fenomena ini memberi alasan kita untuk selalu
bersikap kritis kepada kaum orientalis dan karya-karyanya, yang secara tidak
langsung kita masih dapat menfaatkannya untuk dikaji lebih mendalam, salah
satunya ialah pendekatan historis mereka kepada masalah-masalah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies,
terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (
Muhammadiyah University, 2001)
M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah
Populer , Arkola, Surabaya, 2001
M. Arfan Mu’ammar, Studi Islam Perspektif Insider / Outsider, Jogjakarta:
Diva Press,Cet.ke2 2013
Kim knott. Insider/Outsider Perspectives dalam the Routledge
Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London:
Routledge Taylor and Fancis Group, 2005)
Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A
Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in
Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press.
Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar tentang Islam:
Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian,
[1]
Rusdin, Problem Insider dan Outsider dalam Studi Agama Perspektif Russel T.
McCutheon,(Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.9,No.2, Desember 2012)
hal.186
[2] Syafiq A. Mugni, Pengantar Berpikir
Holistik dalam Studi Islam,dalam Studi Islam: Perspektif Insider/Outsider,ed. M.
Arfan Mu’ammar, et. Al. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012),6.
[3] Ibid,
hal 186
[4] M.
Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer , Arkola, Surabaya, 2001, hal.261
[5] M. Arfan
Mu’ammar, Studi Islam Perspektif Insider / Outsider, Jogjakarta: Diva
Press,Cet.ke2 2013, hal.108
[6] Kim knott. Insider/Outsider
Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited
by John R. Hinnels (London: Routledge
Taylor and Fancis Group, 2005), hal.244
[7] Op.Cit,
M.Arfan Mu’ammar, hal.109
[8] Muhammad Abdul
Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam
Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The
University of Arizona Press. hal. 182
[9] Ibid,
hal. 193
[10] Richard C.
Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy,
Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001)
hal. 238
[11] Muhammad Abdul
Rauf, “Interpretasi Orang Luar tentang Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam
Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian, hal. 237-248.
0 komentar:
Posting Komentar