PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak
kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami
hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang
kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal. Islam telah
menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian
sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin
hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan
interdisipliner.
Usaha mempelajari Islam kenyataannya
bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga oleh
orang-orang di luar kalangan umat Islam. Semua memiliki tujuannya masing-masing yang berbeda. Di kalangan umat Islam, Islamic Studies bertujuan untuk
memahami dan mendalami ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan
mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman
hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, Islamic
Studies bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek
keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata- mata sebagai ilmu
pengetahuan.
Namun, sebagaimana halnya
dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk
agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau
digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang
bersifat negatif. Studi Islam yang dilakukan oleh kalangan Islam itu sendiri
kemudian disebut Islamic Studies perspektif Insider, dan
non-Muslim disebut Outsider.
2.
Topik
Pembahasan
Pada makalah
yang sederhana ini akan dibahas mengenai :
1.
Siapakah Indider-Outsider
?
2. Bagaimana
Perspektif Indider-Outsider dalam Studi Islam ?
3. Dimana
Posisi Indider-Outsider dalam Studi Agama ?
4. Apakah
Problem Indider-Outsider ?
3.
Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui dan mengenal Indider-Outsider
2.
Memahami Perspektif Indider-Outsider dalam Studi Islam
3.
Mengetahui Posisi Indider-Outsider
dalam Studi Agama
4.
Mengungkap problem Indider-Outsider
PEMBAHASAN
1.
Mengenal
Insider-Outsider
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, disini
perlu dijelaskan pengertian insider dan outsider. Insider adalah para pengkaji
agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider
adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan (orang luar). Yang menjadi
persoalan adalah apakah dari kalangan insider maupun outsider dalam penilaian
benar-benar objektif
dan dapat dipertanggungjawabkan, karena latar
belakang dan jerat histosris yang melekat pada insider maupun outsider.
Banyak kalangan yang menaruh pandangan negatif pada pendapat
outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya
kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam adalah salah satu bentuk jerat
propaganda politik untuk terus menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada
wilayah tersebut.
Dari gambaran diatas, memberikan
indikasi bahwa banyak analisis dari kalangan outsider yang tidak bisa di terima
oleh insider,[1]
dan begitu juga banyak analisis insider yang dipandang sebelah mata oleh
outsider karena adanya subjektifitas yang menjerat insider. Apabila hal ini
dibiarkan berlarut-larut hanya akan menimbulkan miss-understanding yang
dapat berujung pada konflik. Ketidakpuasan dalam menghadapi kenyataan yang ada,
para pakar dan peneliti berusaha mengidentifikasi dan menyusun bangunan teori
untuk memecahkan persoalan seputar studi agama.
2.
Perspektif
Insider-Outsider dalam Studi Islam
Sarjana-sarjana Barat
tampaknya amat tertarik dengan dinamika umat Muslim di dunia ini. Fenomena ini
telah muncul sejak lama ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan
diri atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang perlu
melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam dipahami oleh umatnya.[2]
Mereka sadar bahwa selama
ini banyak sarjana Barat telah melakukan pendekatan yang salah karena mereka
menggunakan paradigma dan teori mereka sendiri dalam mengkaji Islam, sehingga
pembahasannya menjadi tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang
dipahami dan diamalkan oleh umatnya. Marshall G.S. Hodgson[3] mengkritik Clifford
Geertz,[4] yang dianggapnya ceroboh
dalam mengkaji umat Islam. Hodgson memandang Geertz kurang memahami sejarah
umat Islam secara baik.
Tidak hanya Islam saja sebenarnya yang
menjadi sorotan, pada tahun 1960 an pernah muncul sebuah pernyataan yang
menjadi perdebatan panjang mengenai sifat dasar dari studi agama Sikh.[5]
Perdebatan ini secara cepat meluas melebihi permasalahan outsider-insider, dan
menjadi sangat penting, terbukti dengan terbitnya kumpulan tulisan yang
berjudul Perspective on the Sikh Tradition, tahun 1986. Para penulis
barat ini kemudian menuai krtikan tajam dari para sarjana barat lainnya yang
menulis tentang Sikhism.[6]
Disamping sarjana Barat,
banyak juga sarjana dari Timur yang berposisi sebagai outsider mengkaji Islam.
Sachiko Murata dan William C. Chittick, dalam bukunya The Vision of Islam
melakukan pendekatan dalam memahami Islam dengan mengungkapkan atau berawal
dari yang diajarkan Islam itu sendiri. Selanjutnya mereka menulis :
“Kata
‘Islam’ kami maknai sebagai teks-teks yang secara universal diakui (hingga saat
ini) sebagai titik puncak tradisi. Sebagaimana semua agama besar lain, Islam
memiliki karakter yang menonjol, dan dari sinilah kami berusaha memahaminya.
Teks-teks tersebut disandarkan kepada al- Qur’an. Dalam pengertian yang sangat
dalam Islam adalah al-Qur’an dan al- Qur’an adalah Islam. Tafsir utama
al-Qur’an diberikan oleh Muhammad sendiri. Dengan mengikuti metode beliau
banyak tokoh agung - guru, wali, filosof, teolog, ahli hokum- menjelaskan dan
menafsirkan naturalitas visi asli sesuai kebutuhan zamannya.”
Dalam kajian buku ini Murata
dan Chittick mencoba mengkaji Islam secara komprehensif. Selain meneliti teks,
mereka juga melakukan kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang
menjelaskannya. Dalam bukunya mereka membagi kajian Islam ke dalam empat bagian
yaitu: pertama tentang Islam. Kedua tentang tawhid, kenabian,
membahas tentang kembali, membahas aliran-aliran intelektual antara lain tentang;
Ekpresi Islam pada Masa Awal, Kalam, Sufisme, Filsafat, Dua Pola Pemahaman,
Rasionalitas Kalam, Abstraksi Filsafat,dan Visi Sufisme.
Pada bagian ketiga
mereka mengkaji Islam dalam hal Ihsan. Bagian ini dibagi dalam dua bab yaitu
tentang dasar Ihsan dalam Alquran dan Manifestasi Ihsan historis. Keempat dikaji
tentang Islam dalam sejarah. Dalam bagian empat ini terdiri dari Sejarah
sebagai Interpretasi dan Situasi Kontemporer.[7] Kajian Islam kedua tokoh
ini telah memberikan pujian dari beberapa tokoh antara lain oleh Sayyid Hossain Nasr, dia mengatakan:
“Ini
merupakan karya pengantar Islam yang sangat bagus bagi audiens Barat. Pengarang
mempresentasikan satu kajian komprehensif, yang berawal dari dalam wilayah
kebenaran iman yang diwahyukan, kemudian memperlebar lingkaran sehingga
mencakup seluruh visi Islam”.
Tokoh outsider lainnya yang
mengkaji Islam terutama dari aspek esoterik atau sufisme adalah Louis
Massignon. Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al-
Hallaj. Kajian Louis Massignon ini mendapatkan apresiasi dari tokoh Islam
antara lain dari Seyyed Hossein Nasr, dengan berkata:
“Karya
ini bukan sekedar karya unik tentang seorang sufi besar dan kontroversial,
melainkan sebuah kajian tiada banding tentang semanngat keagamaan, kehidupan
sosial dan politik, serta keseluruhan peradaban Islam dimana ia hidup dan mati
“.
Pengkaji kajian esoterik
Islam yang berikutnya adalah William C. Chittick. Chittick
adalah seorang guru besar bidang studi agama-agama di State University of
Knowledge. Ia membuat kajian tentang Ibn al-Arabi dan yang lainnya seperti
kajian tentang Jalaluddin Rumi. Ia menulis buku berjudul The Sufi Path of
Knowledge : Ibn al- ‘Arabi’s Metaphisyc of Imagination.
Dalam salah satu karyanya
yaitu Heurmenetika al- Qur’an ibn al- ‘Arabi menunjukkan bagaimana Ibn
al- Arabi sendiri mengakui bahwa magnum opus-nya yaitu Futuhat al-Makiyyah
adalah uraian yang didiktekan langsung dari Tuhan. Ibnu al- Arabi ketika
menafsirkan Alquran jauh melampaui makna harfiyah dari ayat-ayat tersebut.
Karya Chittick tentang Ibn al-Arabi ini paling tidak telah memberikan kenyataan
bahwa Islam dalam hal ini pemikiran tasawufnya telah menarik minat para sarjana
Barat untuk melakukan kajian tentang Islam.[8]
Kajian keislaman dalam
perspektif outsider ini juga telah melahirkan beberapa hasil penelitian.
Beberapa buku perkenalan umum tentang Islam sebagai agama dan peradaban oleh
penulis tunggal menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner, meskipun
pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih terus berlangsung
dan tujuannya mungkin akan terus bergema. Di antara buku pengantar umum
sedemikian, barangkali tulisan Frederick M. Denny, An Introduction to Islam
(1985) dan Richard Martin, Islam: A Cultural Perspectif (1982) termasuk
yang informatif dan banyak dipergunakan bagi pemula.
Buku yang menilik umat Islam
dari aspek sosial-historisnya tulisan Ira M. Lapidus, A History of Islamic
Societies (1988) merupakan buku pengantar yang terbaik sejauh ini dan
paling komprehensif termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim Asia
Tenggara dan Indonesia, suatu aspek penting kajian keislaman yang sering
diabaikan oleh penulis-penulis lain.[9] Yang hampir senada dengan buku ini ialah buah karya
Philiph K’ Hitti dengan judul History of The Arab
(Serambi, 2013), yang merupakan
kajian paling otoritatif tentang sejarah dengan pembuktian ilmiah yang sangat
meyakinkan.
Buku lain yang telah menjadi
bacaan wajib bagi mahasiswa Islamic Studies dan sejarah (Islam dan Arab)
di banyak universitas di Amerika Serikat adalah buku Hourani yang sering
dipakai sebagai pengantar sejarah Islam, meskipun terfokus pada bangsa
Arab, A History of The Arab Peoples (1991).[10]
Adapun pengkajian Islam
dalam perspektif insider (pengkaji dari kalangan Muslim sendiri) kini
mulai menunjukkan kecenderungan yang cukup kritis. Dari segi ajaran, buku
Fazlur Rahman, Islam (edisi kedua 1979) yang sudah mengalami banyak
cetak ulang, merupakan buku pengantar wajib untuk mata kuliah Islamic
Studies di universitas di Eropa dan Amerika. Kajian kritis tentang Islam
telah dilakukan oleh Nashr Ha>mid Abu> Zayd dalam bukunya, Naqd al-Khitha>b al-Di>ni> (1994) merupakan buku
yang mengkaji tentang wacana agama dengan perspektif wacana Islam kritis.
Buku ini menjelaskan bahwa
pertentangan dalam wacana agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar
pertentangan di seputar teks-teks agama ataupun interpretasi terhadapnya,
melainkan pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan,
sosial, politik, dan ekonomi, pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan
takhayul dan mitos atas nama agama dan juga pemahaman secara letterlijk
terhadap teks-teks agama. (Jamali Sahrodi,
2008:182-183)
Muhammad Abed al-Jabiri
bukanlah nama yang asing lagi di kalangan intelektual Islam. Ia sering
disejajarkan dengan Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullah Ahmed
An-Na’im, Ali Harb, Fatima Mernissi ataupun Muhammad Arkoun. Al-Jabiri telah
mengkaji tentang teologi dalam Islam dalam bukunya, al-Kasyfu ‘an Manahij
al-Adillat fi Aqa’id al-Millah: Aw Naqd ‘Ilm al-Kalam Dhiddan al-Tarsim
al-Ideologi Li al-Aqidah wa Ddifa’an ‘an al-’Ilm wa Hurriyah al-Ikhtiyar
fi al-Fikri al-Fi’li (1998).
Dalam buku yang lainnya yang berjudul Takwin
al- Aql al Arabi yang diterjemahkan
oleh Imam Khori menjadi Formasi Nalar Arab Muhammed
Abed al- Jabiri. Dalam bab pendahuluan ia menulis :
“Buku ini memuat
kajian yang sudah barang tentu telah menjadi bahan perbincangan
sejak ratusan tahun silam. Sesungguhnya kritik nalar adalah bagian
mendasar, bahkan terpenting, dalam setiap proses kebangkitan. Apakah mungkin
membangun proyek kebangkitan dari nalar yang tertidur, nalar yang tidak
mampu melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap mekanisme, konsep
dan pemikiran-pemikirannya?”.[11]
Dalam bab satu dari bukunya
al-Jabiri membahas Pendekatan Awal sebagai pengantar atau Pendahuluan. Bagian
kedua Menganalisa Unsur-unsur Pembentukan Budaya Arab dan Pembentukan Nalar
Arab itu sendiri. Bagian ktiga membahas tentang sistem epistemologis yang menjadi dasar bagi
dan saling berbenturan dalam kebudayaan Arab. Adapun tujuan dari penyusuanan
buku ini adalah untuk
untuk membebaskan diri dari sesuatu yang telah mati atau tetap kokoh dalam
dunia nalar dan membuka ruang bagi kehidupan nalar agar perannya tetap terbuka
dan kembali tertanam.[12]
Tulisan atau kajian
al-Jabiri sangat berhubungan dengan tradisi dan problem metodologi,
berhubungan dengan pembacaan kontemporer atas tradisi Islam, karakteristik
hubungan bahasa dan pemikiran dalam tradisi Islam, Rasionaisme Islam serta
problem Islam dan modernitas.
Kajian tentang Islam juga
dilakukan oleh Hassan Hanafi[13] dalam bukunya Islam
and The Modern World; Religion, Ideologi and Development. Dalam tulisan ini
ia mengkaji
Islam demikian luas mulai dari aspek teologi sampai teknologi. Dalam buku
volume I Hanafi membahas tentang teologi, mistisisme dan etika, alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta filsafat.
Buku Alwi Shihab, Membedah
Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman (2004) merupakan
satu buku yang banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. K.H. Sahal
Mahfudz berkata, “selama ini, dunia Barat selalu mengidentikkan Islam
dengan terorisme, radikalisme, dan jauh dari humanisme. Hal ini terjadi
karena minimnya pemahaman mereka akan Islam dan itu sangat dirasakan oleh
Pak Alwi selama berinteraksi dengan para mahasiswa di Amerika. Saya merasa buku
ini akan memberikan pencerahan yang dapat mengenalkan Islam secara benar sebagai
agama yang rahmatan lil’alamin”.
Komentar dari kalangan
non-Muslim, misalnya Jakob Oetama, “Banyak konflik meruncing dan dipicu
oleh salah persepsi dan kurangnya komunikasi. Hal yang sama pula terjadi
dalam cara penghayatan keagamaan yang picik, padahal panggilan kesucian
agama antara lain justru mengajak kita untuk mengatasi kepicikan itu,
untuk menyelami keagungan Sang Khaliq, yang terpapar dalam ciptaan-Nya.
Karena itu, Jakob Oetama menyambut gembira buku Alwi Shihab ini. Inilah
contoh, bahwa melalui dialog, kita lebih menjadi dewasa, bahkan dalam
perkara yang menyangkut kepercayaan terdalam kita, sehingga kita bisa
berkoeksistensi secara damai dengan saling memberi kontribusi positif. (Jamali
Sahrodi, 2008:183-184)
Tokoh Muslim Indonesia
lainnya yang mengadakan kajian tentang Islam adalah M. Amin Abdullah. Ia
menulis sebuah buku berjudul Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif Interkonektif. Paradigma interkoneksitas memberikan tawaran yang
lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humality
(rendah hati) dan human (manusiawi). Paradigma ‘interkoneksitas’
berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, tidak dapat berdiri sendiri.[14] Dalam
bukunya, Amin Abdullah membahas dalam bagian pertamanya tentang Filsafat
Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian kedua tentang Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman,
bagian ketiga tentang Pendekatan Hermeneutis Dalam Studi sosial-Budaya dan Fatwa
Keagamaan, dan bagian keempat tentang Arah Baru dan Pergeseran Paradigma Metode
Studi Keislaman.
Dalam karya lainnya, Studi
Agama Normativitas atau Historisitas, Amin Abdullah menegaskan bahwa agama
tidak hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan
normativitas ajaran wahyu, tetapi juga ia dapat dilihat dari sisi historisitas.
Dalam bukunya ini Amin membagi menjadi empat pembahasan, pertama
menjelaskan cikal bakal kontroversi perebutan klaim validitas dan otoritas
keilmuan agama di belahan dunia bagian Barat. Bagian kedua menyentuh
wilayah studi keislaman dengan menerapkan cara pandang filsafat keilmuan
kontemporer. Bagian ketiga secara eksplisit mengharapkan munculnya
disiplin dan telaah studi kawasan tentang masyarakat muslim. Dan bagian keempat
mengilustrasikan perlunya pendekatan filosofis terhadap pemikiran keagamaan
pada umumnya.[15]
Table 1. Perbedaan Perspektif antara Outsider- Insider dalam Studi
Agama
No
|
Kajian
|
Outsider
|
Insider
|
1
|
Agama
|
Pengetahuan/ Keilmuan
|
Ajaran/ Prilaku
|
2
|
Objek
|
Menjaga jarak dengan objek
|
Subjektif/ di dalam Objek
|
3
|
Sifat
|
Kecurigaa/Hipotesis
|
Keyakinan
|
4
|
Penilaian
|
Historis/ Tampak
|
Normatif/ Nilai
|
3. Posisi
Indider-Outsider dalam Studi Agama
Kim Knott[16]
dalam tulisannya insider/outsider perspectives.[17]
berpendapat, bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri insider ditampilkan
kemudian direspon oleh outsider, dengan mempertimbangkan batas objektifitas dan
subjektivitas, yang terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh
sikap empati dan analisis kritis. Pada titik ini, insider maupun outsider
saling berbagi keseimbangan perspektif sejarah dalam studi agama.
Berbeda halnya dengan pendapat
Darshan Singh, yang menegaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh peneliti barat
untuk menginterprestasikan dan memahami agama sebagai outsider, memandang bahwa
konsep dan ajaran agama tidak mudah untuk diakses oleh orang luar atau
non-pemeluknya. Makna subtansi menurut dia, dari agama terungkap hanya melalui
partisipasi secara intensif, dengan jalan mengikuti ajaran pengalaman
keagamaannya.
Jauh sebelumnya, Max Muller (1873)
telah mempertegas bahwa, sebagai objek studi, agama harus diajawantahkan secara
proporsional, meski ia juga harus dikritisi. Dua puluh tahun kemudian,
Cornelius Tiele (1830-1902) menekankan kepada para ilmuan untuk melakukan penelitian
dengan mengedepankan objektivitas melalui studi dan investigasi yang tidak
memihak.[18]
Ia juga membedakan antara subjektivitas keagamaan pribadi individe dan
objektivitas cara pandang terhadap agama orang lain.
Russel Cutcheon mencoba memberi
penguatan guna mengkatagorisasikan tanggapan insider ke outsider dalam tiga
dimensi: (i) otonomi pengalaman religious, yang terkait dengan pendekatan
fenomenalogi, (ii) reduksionosme, yang dicontohkan oleh komunitas akademisi yang
mengambil suatu sikap ilmiah, (iii) netralitas dan metode agnostisisme.[19]
Pendekatan yang ditawarkan ini, mensyiratkan pergeseran dari ranah teologi ke
filasafat.
Selanjutnya, berbagai isu seputar
studi agama diberi penguatan metodologis, terutama yang berkaitan dengan
fenomenalogi agama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kristensen, Van der Leeuw
dan Rudolf Otto di Jerman, kemudian Mircea Eliade di Amerika serta Ninian Smart
di Inggris. Mereka sepakat menyatakan bahwa semua agama sebagai fenomena yang
unik yang dapat dilihat dari berbagai sisi, otonom dan taka da bandingannya,
namun mampu memberikan pengalaman secara empirik.[20]
4. Problem Insider dan Outsider
Perkembangan studi Islam di dunia terutama di barat terjadi
karena adanya kontak dengan dunia muslim, salah satunya yakni lewat kontak
perguruan tinggi. Selain itu juga dengan adanya penyalinan karya-karya ilmiah
dari manuskrip-manuskrip Arab kedalam bahasa Latin. Berkat penyalinan
karya-karya manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan
cabang-cabang ilmiah di Barat.
Sebelum muslim memasuki universitas-universitas di Barat,
ahli Islam di Barat didominasi para orientalis. Maka buku-buku dan
artikel-artikel tentang pemikiran-pemikiran dibidang Islam pun didominasi dan
merupakan hasil pemikiran para orientalis. Seiring dengan adanya sarjana muslim
yang belajar di Barat dan menulis dengan bahasa
Barat tentang Islam, maka ahli keIslaman pun muncul dari sejumlah muslim.[21]
Adapun dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di
negara-negara non-Muslim tidak selalu dengan nama Islamic Studies,
tetapi dengan berbagai nama, semisal Middle East Studies, Near Eastern Studies,
Religious Studies, Comparative Religion dan lain-lain. Di samping itu ada juga
beberapa lembaga (pusat studi/center), baik yang berafiliasi dengan universitas
maupun tidak, yang menawarkan dan menyediakan studi Islam. Diantaranya :
a. Islamic
Society of North America
b. The
Oxford Centre for Islamic Studies, Inggris
c. Centre
for Islamic Law and Society di Melbourne Law School, the University of
Melbourne Australia.[22]
Kajian Islam di Barat telah mengalami perubahan. Penelitian
dan kajian yang dilakukan Barat terhadap masyarakat Muslim kini dilakukan di
tengah kehadiran Islam dan dunia Islam yang hidup dan berubah, tidak sekedar catatan masa silam.
Peningkatan apresiasi terhadap Islam di kalangan sarjana Barat inilah yang
kemudian memunculkan apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai Orientalisme
Baru.[23]
Kebangkitan Orientalisme baru itu membuka peluang lebih
besar bagi terciptanya interaksi dan pertukaran keilmuan yang lebih dinamis dan
positif di antara sarjana-sarjana Barat non-Muslim dengan sarjana-sarjana
Muslim. Bahkan, riset dan pemikiran sekarang dilakukan secara bersama dalam
suasana dialogis.
Perkembangan seperti ini memunculkan pergeseran keseimbangan
dalam beberapa disiplin kajian Islam di antara sarjana-sarjana Muslim dengan
non-Muslim. Tak kurang terdapat sarjana Muslim yang begitu menonjol sehingga
mempengaruhi seluruh sarjana lain dalam kajian-kajian yang mereka lakukan. Meski
terjadi perkembangan positif, kritik terhadap studi Islam di Barat tetap ada.
Setidaknya ada dua kritik yang dikemukakan cukup keras baik dari kalangan
sarjana Muslim maupun non-Muslim.
1.
Kajian-kajian tentang Islam yang
dilakukan di Barat cenderung bersifat esensialis, yakni menjelaskan seluruh
fenomena masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam kerangka
konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain, cenderung menggeneralisasi fenomena yang
berlaku pada masyarakat Muslim tertentu pada kurun waktu tertentu pula sebagai
hal yang umum bagi seluruh masyarakat dan kebudayaan Muslim.
2.
Kajian-kajian tentang Islam di Barat
dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis. Kajian-kajian tentang Islam
dilakukan untuk melanggengkan dominasi Barat terhadap masyarakat-masyarakat
Muslim, antara lain, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif
tentang Islam dan masyarakat Muslim.
3.
Kajian-kajian tentang Islam di Barat
merupakan upaya untuk melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai atas nama
kehidupan intelektual dan akademis, yang padahal tidak atau hampir tidak
mempunyai kaitan dengan kenyataan yang hidup.
Studi Islam di Timur, tidak jauh
berbeda dengan yang ada di Negara Barat yaitu bervariasi dan memiliki karakter
masing-masing. Karena dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya faktor kebijakan
politik, dinamika sosial budaya, latar belakang pemegang kebijakan pendidikan
perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
Sebelumnya, awal kesejarahan Islam atau tepatnya era Nabi, pusat kajian Islam lebih dikonsentrasikan pada tidak terlau banyak
“berspekulasi” tentang hakekat Tuhan dan realitas-realitas Gaib. Ini
dikarenakan pada pola fikiran terbatas yang tak mampu menangkap yang terbatas
dan itu hanya akan menghasilkan sebuah kekeliruan. Selanjutnya Islam
diperhadapkan oleh banyaknya tekanan-tekanan non Arab yang memeluk Islam. Dalam
perkembangan berikutnya realitas Islam semakin meluas. Berbagai fenomena muncul
satu-persatu, mulai dari politik, tradisi-tradisi dalam keagamaan, termasuk di
situ adalah disintegrasinya Islam Suni dan
Syiah, peradabanpun semakin meluas. Pada akhirnya pendefinisian tentang “studi
islam” pun belum final.
Melihat paparan ini dapat kita
simpulkan bahwasanya studi Islam di Timur, sebagaimana studi Islam di Barat dan
berbagai negara lainnya, juga tidak seragam. Ada karakteristik yang khas dari
masing-masing negara, dan juga perguruan tinggi. Hal ini menjadikan kekayaan
warna dalam studi Islam di masing-masing lembaga dan negara. Konstruksi semacam
ini justru akan semakin memperkaya warna studi Islam.[24]
Fakta realitas
yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian insider dan outsider berkaitan
erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan
memahami Islam.[25] Persoalan yang dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam dari
outsider benar-benar objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki
validitas ilmiah dilihat dari optik insider? penulis sendiri sepakat dengan
pendapat Abdur Rouf yang menyatakan menolak validitas para pengkaji outsider karena
mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan
dominasi politik dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam
dalam kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies)
yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas
Eropa.[26]
Untuk itu, studi Islam dalam perspektif outsider penuh bias, kepentingan, dan
barat sentris. Membaca karya para outsider tentang Islam harus dilakukan dengan
kritis dan penuh hati-hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang
untuk dapat memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para
pengkaji outsider. Penulis banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi
Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada
prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada
supremasi budaya (cultural supremacy). Penulis sangat jelas menunjukkan
keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya
memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana
dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat
Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ‘ditiadakan’. Islam
hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak
mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
Dapat dinilai
bahwa Barat telah mengkoloni Islam melalui pendidikan. Contohnya kasus yang
terjadi pada universitas al-Azhar pada tanggal 7 Desember 1961.[27]
Kalau reformasi tersebut terjadi, maka kemungkinan besar pengaruh keilmuan Islam
tradisional semakin mengecil. Terlebih lagi dengan arus teknologi meruntuhkan
sekat kebudayaan dan bangsa. Pada akhirnya wajah Islam akan berjiwa Barat dan
sekaligus akan meninggalkan wajah Islam itu sendiri. Hanya saja ada keuntungan
saat umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga
reformasi pun tidak jadi dilakukan saat itu. Namun demikian, Barat berhasil
mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan memasukkan
kurikulum sekuler di dalamnya.[28]
Dengan ini, segala bentuk ketakutan pun terjadi, pendidikan Islam tradisional
“otentik” perannya semakin kecil. Lembaga pendidikan Islam dipersempit perannya
hanya sebagai lembaga Pendidikan agama, pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah
sekuler model Barat di Negara-negara Islam. Di sinilah terjadi
dikotomi-dikotomi antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya Islam
hanya memandang semua ilmu bersifat ilahiyah.
Sebagai konsekuensi
logis “dikotomik” tersebut, lahirlah sejumlah metode dan pendekatan yang
beragam dari kedua pihak Barat dan Timur dalam mengkaji Islam. Pendekatan
ilmiah dan historis cenderung diterapkan Barat, sementara Timur lebih ke sisi
teologis. Barang kali ada motiv yang saling berlawanan, dimana studi Islam
Barat didorong oleh kekuasaan kolonial, sementara Islam didorong oleh sikap
pertahanan diri pada sisi lain, sebagaimana penilaian dari sebagian sarjana
Barat sangat dipengaruhi oleh “pra-anggapan” negartif yang menyatakan bahwa
Islam adalah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa
oleh nabi palsu dan suka seksualitas. Dengan demikian, hasil presentasi Barat tentang
Islam cenderung tidak objektif.
Kelompok Barat
yang sangat dipersoalkan dalam hal ini adalah sejumlah Orientalis, kendati
fakta realitasnya mereka sangat berkontribusi besar terhadap keilmuan Islam,
namun belum bisa kompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas
keimanan kaum Muslimin. Ini terlihat jelas dalam ungkapan “Tapi akan berbahaya
jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari
fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa dikatakan mengenai Islam sehubungan
dengan tempat dan waktu di mana ia muncul, tapi keunikan dan klaim kebenarannya
di hadapan para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.”
Atas dasar ini
pula sangat ditekankan dengan adanya upaya mencari metode baru yang lebih
memadai tentang pemahaman terhadap Islam. Ini mengingat sejarah telah
memperlihatkan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis
karena sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa
dilacak dari berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan dalih
keilmiahan.
Dalam pada itu,
juga sangat ditekankan akan perlunya seorang outsider mendapatkan suatu
pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam secara utuh sesuai dengan pemaknaan
dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (insiders). Namun juga
perlu Outsiders menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada
khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum banyak mengenal Islam)
secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak
adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang
mendapat informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya
melalui praasumsi-praasumsi budayanya.
Rauf
menambahkan bahwa Barat sebagai pengkaji Islam harus melepaskan “pra-anggapan”
tersebut dan menghiraukan pendapat dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan,
menurutnya, untuk mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para
Sarjana Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam atau
dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat Islam. Disini
sangatlah jelas bagaimana Rauf mengeritik metode Barat berupa sebuah explanation
ke emphatic atau understanding. Untuk itulah para sarjana Islam
harus mampu menyuarakan dirinya pada Barat dan berusaha untuk mengambil hal
positif dari modernisasi serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Ini
agar umat muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukan.
Rauf tidak
mutlak menolak reformasi, namun perlu Ummat Islam berhati-hati dalam melihat
persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan
kadang-kadang menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh
beberapa orientalis. ginya, tidak semua karya
orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka
terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan
adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun
peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak
jujur.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Insider
adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam).
Sedangkan outsider adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang
bersangkutan (orang luar).
Kajian
keislaman dalam perspektif outsider-insider telah
melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku perkenalan umum tentang
Islam sebagai agama dan peradaban oleh penulis tunggal menunjukkan pentingnya
pendekatan multidisipliner, Fakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian insider dan
outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri
dalam menafsirkan dan memahami Islam. Persoalan yang dipermasalahkan adalah
apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar objektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider
Sejatinya,
kajian Islam dari para outsider-insider dapat dipetakan sebagai berikut :
outsider mengakaji agama sebagai ilmu pengetahuan, dengan menjaga jarak dengan
objek, penuh kecurigaan/hipotesa dengan penilaian historis. Sedangkan dari
pihak insider sendiri mengkaji agama sebagai sebuah ajaran yang bersifat
subjektif, keyakinan yang mendalam dan bersifat normative dalam penilaian.
2.
Komentar
Kenyataan bahwa kajian Islam tidak hanya dilakukan oleh
muslim saja tetapi juga nonmuslim meniscayakan adanya fungsi evaluasi kritis
pihak pertama terhadap pihak kedua. Meminjam pendapatnya Rauf bahwa Barat sebagai
pengkaji Islam harus melepaskan “pra-anggapan” dan menghiraukan pendapat dan
suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk mengkaji Islam,
khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana Barat harus menggunakan
metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu saja sebagaimana
yang dikatakan oleh umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Studi Agama
Normativitas atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Abdullah, Amin.Islamic Studies di
Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif- Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Abed la-Jabiri, Muhammad terj. Imam
Khoiri, Formasi Nalar Arab. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.
Connolly,
Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta:
LKiS, 2002.
Fanani,
Muhyar. Metode Studi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hodgson, Marshall G.S. The Venture of
Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah
Tatanan Baru terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002.
Lapidus, ra M. terj. Ghufron A. Mas’adi,
Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Mua’ammar, Arfan dkk. Studi Islam
Perspektif Indiser/Outsider. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.
Naim,
Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
Nata, Abuddin. Sejarah Pedidikan
Islam. Jakarta: Kencana, 2011.
Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif
Insider-Outsider dalam Studi Agama. Ponorogo : ISID Press. 2011.
Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam.
Studi Islam oleh Outsider-Insider dan Isu-isu Kontemporer. Jakarta:
Kemenag RI, 2011.
Wahid, Abdurrahman. Hasan Hanafi dan
Eksperimentasinya alam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz.
Yogyakarta: LkiS, 2007.
[1] Berangkat
dari hal tersebut, W.C. Smith menegaskan pentingnya dialog antara pemeluk agama
dan peneliti guna memperoleh validitas data. Bagi Smith kajian agama baru
dikatakan valid apabila pemeluk agama mengatakan ya (membenarkan hasil kajian
itu) karena pemeluk agama punya hak yang istimewa. Baca: , W.C. Smith dalam
Comparative Religion dalam Mircea Eliade and Joseph Kitagawa (ed). Dalam Muhyar
Fanani, Metode Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. ii
[2] Tim Direktorat
Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-Isu
Kontemporer (Jakarta: Kemenag RI, 2011), hlm. 260.
[3] Marshall Goodwin
Simms Hodgson (April 11, 1922 – 10 Juni 1968), adalah seorang Studi Islam akademis dan sejarawan dunia di University of Chicago. Dia menganjurkan kepada
setiap pengkaji Islam, terutama dalam melihat realitas Islam di dunia, harus
bisa membedakannya dalam tiga bentuk fenomena Islam sebagai sasaran studi. Pertama, fenomena Islam
sebagai doktrin. Kedua, fenomena ketika doktrin itu
masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat-kultural (Islamicate) dan
mewujudkan diri dalam konteks sosial dan kesejarahan tertentu. Dan ketiga, ketika Islam menjadi
sebuah fenomena ”dunia Islam” yang politis dalam lembaga-lembaga kenegaraan
(Islamdom) yang bertolak dari konsep ”dar al-islam”. Hodgson, Marshall G.S.
The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Buku Pertama
Lahirnya sebuah Tatanan Baru terj.
Mulyadhi Kartanegara. (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 10.
[4] Clifford James Geertz (San Francisco,
23 Agustus
1926–Philadelphia,
30 Oktober
2006) adalah seorang ahli antropologi
asal Amerika Serikat. Ia paling dikenal melalui
penelitian-penelitiannya mengenai Indonesia
dan Maroko
dalam bidang seperti agama
(khususnya Islam),
perkembangan ekonomi,
struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga. Sejak tahun 1970 hingga meninggal
dunia Geertz menjabat sebagai profesor emeritus di
Fakultas Ilmu Sosial di Institute for
Advanced Study. Ia juga pernah menjabat sebagai profesor tamu di
Departemen Sejarah Universitas Princeton dari 1975 hingga
2000. http://id.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz.
Diakses 13 April 2015.
[5] Agama Sikh adalah sebuah agama monoteistik
yang diasaskan mengikut ajaran Guru Nanak dan sembilan orang guru lain di Punjab,
India
pada abad ke-15.
Agama Sikhisme adalah agama kelima terbesar di dunia, dengan lebih daripada 23
juta penganut. Sikhisme berasal daripada perkataan Sikh, yang
datang daripada kata dasar śiṣya dalam bahasa Sanskrit, yang bermakna
"murid" atau "pelajar", atau śikṣa yang bermaksud
"arahan". Kepercayaan utama orang Sikh adalah keyakinan dalam Waheguru - yang digambarkan menggunakan
simbol suci ēk ōaṅkār, yaitu Tuhan Universal. http://ms.wikipedia.org/wiki/Sikhisme.
Diakses pada 8 Maret 2015.
[6] M. Irfan Mu’ammar
dkk. Studi Islam Perspektif Indiser/Outsider, hlm. 108.
[7] Tim
Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan
Isu-Isu Kontemporer, hal. 264.
[9] Lihat Ira M.
Lapidus, terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 1999).
[10] Tim Direktorat Jendral Pendidikan
Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-Isu Kontemporer, dalam Jamali Sahrodi,
2008: hlm.181- 182.
[11] Muhammad
Abed la-Jabiri, terj. Imam Khoiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2014), hlm.
13.
[13] Hassan
Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan Profesor filsafat
terkemuka di Mesir. Dilahirkan 13 Februari 1935 di Kairo.
Ia memperoleh gelar Sarjana Muda bidang
filsafat pada University of Cairo tahun 1956. Sepuluh
tahun kemudian (1966), Hanafi telah mengantongi gelar
Doktor dari LA Universitas Sarbone Prancis. Pada
fase awal pemikirannya, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni.
Baru pada akhir dasawarsa ini ia mulai
berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang
progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Lihat lebih lanjut, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi
dan Eksperimentasinya” dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara
Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terj.
M. Imam Aziz (Jogjakarta: LkiS, 2007), hlm. xiii
[14] Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif- Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. viii.
[15] Lebih
lanjut, baca Amin
Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm.i-ix.
[16] Adalah seorang
peneliti yang memfokuskan dirinya pada pengembangan metodologi special dalam studi
agama, dia juga seorang sekretaris Jendral Asosiasi Eropa untuk studi agama,dan
juga seorang dosen senior pada studi agama di University of Leeds , Inggris. Lihat
Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Agama (Ponorogo:
ISID Press, 2011), hlm.
46.
[17] Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives, dalam John R Hinnells
(Ed) The Routledge Companion of The Studi of Religion, M. Arfan
Mu’ammar, dalam Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, hlm. 103.
[18] Shiddiqi Nourouzzaman,
Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman, dalam Taufik Abdullah, Metodologi
Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, dalam M. Arfan Mu’ammar, dalam Studi
Islam Perspektif Insider/Outsider, hlm. 109.
[19] Adalah suatu
pandangan filsafat
bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan
dengan teologi,
metafisika,
keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal
pikiran manusia yang terbatas. http://id.wikipedia.org/wiki/Agnostisisme,
diakses pada 10 Maret 2015.
[23] Muthabaqani
menyatakan, bahwa istilah orientalis muncul lebih dahulu dari pada
orientalisme. A.J. (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis
muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani).
Pada tahun 1691, istilah orientalis digunakan oleh Anthony Wood untuk menyebut
Samuel Clarke sebagai orientalis yang cerdas, karena mengetahui beberapa bahasa
Timur. Sedangkan Orientalisme menurut Edward Sa’id adalah bidang pengetahuan
atau ilmu yang mengantarkan pada pemahaman dunia timur secara sistematis
sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan. Lihat
Zaid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014),
hlm. 229-230.
0 komentar:
Posting Komentar