PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang termasuk di dalamnya
ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan dengan cepat relatif memperpendek jarak
perbedaan budaya antara satu wilayah dan wilayah yang lain. Pada gilirannya,
hal ini berpengaruh pada kesadaran manusia tentang apa yang disebut fenomena
agama. Pada era sekarang ini agama tidak dapat lagi didekati dan difahami hanya
lewat pendekatan teologis-normatif saja.
Pada penghujung abad ke 19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke
20, terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang “agama” dari yang dahulu
terbatas pada “Idealitas” ke arah “historitas”, dari yang hanya berkisar pada
“doktrin” ke arah entitas “sosiol logis”, dari diskursus “esensi” ke arah
“eksistensi”.[1]
Orang tidak mungkin mudah disalahkan untuk melihat fenomena agama
secara aspektual, dimensional, dan bahkan multi dimensional dikarenakan
pergaulan dunia yang terbuka dan transparan. Selain agama mempunyai doktrin
teologis-normatif, dan memang disitulah letak hard core daripada
keberagamaan manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai tradisi. Sedangkan
tradisi sulit dipisahkan dari faktor human construction yang
semula dipengaruhi oleh perjalanan sosial-ekonomi-politik dan budaya yang amat
panjang.
Bagi seorang muslim, pemahaman yang mendalam dan kaaffah
akan agama Islam dengan merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan
tujuan dari jiwa agama sangat diperlukan agar ia dapat menjadi manusia yang
berpandangan luas, bijaksana dan dapat melihat perbedaan-perbedaan yang muncul
dalam menyikapi permasalahan-permasalah dalam kehidupan dunia. Untuk mengarah
pada pemahaman yang holistik itu, dikenal dua pokok macam pendekatan, yakni
normativitas dan historisitas. Normativitas adalah aturan baku, yang tidak
dapat dilepaskan dari pemikiran tentangnya, sedangkan historisitas adalah betuk
sejarah bagaimana dogmatik itu muncul.
Perbedaan kedua jenis pendekatan ini sering menimbulkan ketegangan.
Pendekatan normativitas menuduh pendekatan kedua, historisitas, sebagai
pendekatan yang menekankan pemahaman keagamaan terbatas pada aspek lahiriah
keberagamaan manusia, dan kurang memahami menyelami, dan menyentuh aspek
batiniah, serta moralitas yang terkandung di dalam ajara-ajaran itu sendiri. Sifat
seperti ini disebut dengan sifat “reduksionis”.
Sedangkan
pendekatan historisitas menuduh bahwa perdekatan pertamna, normativitas, sebagai
pendekatan yang bersifat absolut. Karena pendekatan normativitas mengabsolutkan
teks yang tertulis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang
melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kiranya penting bagi penulis merumuskan
masalah yang akan dibahas sebagai berikut.
1.
Apa pengertian Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas?
2.
Apa saja ruang lingkup kajian Islam normatif dan historis?
3.
Bagaimana negasi antara Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas?
C.
Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut;
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Islam dalam bingkai normativitas
dan historisitas.
2.
Untuk mengetahui ruang lingkup kajian Islam normatif dan historis.
3.
Untuk memahami negasi diantara Islam dalam bingkai normativitas dan
historisitas.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam Normatif dan Historis
1.
Islam Normatif
Kata Normatif
berasal dari bahasa inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan,
ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan. Adapun Studi Islam dengan pendekatan normatif
adalah suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan
asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.[2]
Islam normatif juga dapat diartikan Islam
yang berada pada dimensi sakral, yang diakui adanya realitas transendental,
yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu, atau sering
disebut sebagai realita ketuhanan. Dengan kata lain, Islam normatif merupakan
Islam ideal atau Islam yang seharusnya. Bentuknya berupa aspek tekstual Islam,
yaitu aturan-aturan Islam secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan
Hadits yang kebenarannya absolut dan tidak dapat dipersoalkan.
Hal itu dimanifestasikan dengan Quran dan Hadits. Quran dan Hadits mengandung
nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa berubah sampai kapanpun. Keduanya
memiliki teks atau bentuk tulisan, dan kepada kedua teks inilah pendekatan
normatif berdasar. Jadi, apapun yang terjadi, semua hukum yang diatur dalam
Islam tidak boleh keluar dari teks. Jika teks berbunyi A, maka hukum yang ada
pun harus A. Meski di wilayah lain ada hukum B yang berinti sama dengan teks A.
Pemahaman Islam secara normatif bersifat doktriner[3] ,
yaitu bahwa agama Islam sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci
dan merupakan doktrin-doktrin yang berasal dari ilahi yang mempunyai
nilai (kebenaran) absolut, mutlak, dan universal. Pendekatan doktriner tersebut
juga berasumsi bahwa ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Islam yang
berkembang pada masa salaf, yang menimbulkan berbagai mazhab keagamaan,
baik teologis maupun hukum-hukum atau fiqh, yang tetap dan baku. Sesudah masa
itu, studi Islam berlangsung secara doktriner. Sehingga ajaran Islam menjadi
bersifat permanen, yang pada akhirnya menjadi tampak sebagai ketinggalan zaman.[4]
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada
dua teori yang dapat digunakan bersama pendekatan normatif-teologis. Teori yang pertama adalah hal-hal yang bertujuan untuk
mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit
dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik
biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan
dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan
kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk
klasifikasi empirik dan mana yang tidak sehingga terjadi menyebabkan perbedaan
pendapat dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap
kritis.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif
tekstualis tidak menemui kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat
dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan
semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran
bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling
kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah
mentradisi secara turun temurun,seperti slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa
pendekatan normatif tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir
deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar
dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari
keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
2.
Islam Historis
Historis berasal dari bahasa inggris History yang bernakna sejarah,
yang berarti pengalaman masa lampau daripada umat manusia.[5]
Kata sejarah secara terminologis berarti suatu ilmu yang membahas berbagai
peristiwa atau gejala dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[6]
Sejarah
sebagai ilmu manusia adalah studi mengenai rangkaian ungkapan-ungkapan (kejadian-kejadian)
khusus yang tak dapat ditarik kembali di mana ungkapan-ungkapan yang lebih
akhir secara kumulatif dipengaruhi oleh yang lebih dahulu.[7]
Islam
historis berarti Islam yang tidak terlepas dari sejarah kehidupan manusia yang
berada dalam ruang dan waktu. Maksudnya, Islam semacam ini terangkai oleh
konteks kehidupan pemeluknya, karena memang berbeda di bawah realitas ke
Tuhanan. Dengan kata lain, Islam historis merupakan Islam riil atau Islam yang
senyatanya. Bentuknya berupa aspek kontekstual Islam, yaitu penerapan secara
praktis dari Islam normatif. Maksudnya, wujud Islam historis tersebut diambil
dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalaui berbagai
pendekatan di berbagai bidang yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu, antara
lain ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, teologi, tasawuf, dan lain-lain
yang kebenarannya bersifat relatif dan terbuka untuk dipersoalkan.
Menurut M.Amin
Abdullah dalam bukunya Studi Agama Nomativitas dan Historitas. Islam historis
adalah Islam yang ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial
keagamaan yang bersifat multi- dan inter-disipliner, baik lewat pendekatan
historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis.
Melalui kajian
ini seseorang akan diarahkan dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris
dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya keselarasa bahkan
kesenjangan antara yang terdapat pada alam idealis dengan yang ada pada alam
empiris.
Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hal ini, Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam
terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia
mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasar kandungan
al-qur’an itu terdiri menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi
konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Selanjunya,
jika pada bagian yang berisi konsep-konsep al-Qura’an bermaksud untuk membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua
yang berisi kish-kisah dan perumpamaan-perumpamaan, al-Qur’an mengajak
dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi (penyangkokan)
terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui
kisah-kisah yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat
dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisikan ajakan semacam ini,
tersirat maupun tersurat baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut
simbol-simbol. Mislanya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang
luhurnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang keganasan
samudra yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.[8]
B.
Ruang Lingkup Islam Normatif dan Historis
Berdasarkan
pengertian studi Islam dalam bingkai normatif di atas yang mengatakan bahwa pemahaman
agama pada teks, maka dapat diperinci ruang lingkup dalam memahami Islam
sebagai berikut.
1.
Tafsir
Tafsir
adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an)
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara mengambil penjelasan
maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.[9]
Al-qur’an
menjadi objek pembahasan tafsir merupakan sumber agama Islam. Kitab suci ini
menduduki posisi sentral, bukan hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, tetapi merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Amin
Abdullah dalam bukunya yang berjudul Studi Agama yang mengatakan, bahwa sejarah
penulisan Tafsir abad pertengahan, agak tidak terlalu meleset jika dikatakan
bahwa dominasi penulisan al-Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak
lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al-Din al-Khaffaji (1659) memusatkan
perhatian pada analisis gramatikan dan analisis sintaksis atas ayat al-Qur’an.
Juga karya al-Baydawi (1286), yang hingga searang masih dipergunakan di
pesantren-pesantren, memusatkan penafsiran al-Qur’an corak leksiografis seperti
itu.
Tafsir
modern karya ‘Aisyah Abd Rahman bint al-Syati’ al-Tafsir al-Bayani lil
al-Qur’an al-Karim, yang oleh silabus jurusan TH fakultas Usuluddin IAIN
Sunan Kalijaga halaman 151 disebut sebagai al-Tafsir al-‘Asri, juga
masih punya kesan kuat corak leksiografi.[10]
Tanpa harus
mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografi seperti itu, corak
penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al-Quran yang kurang
utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu
dari al-qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan aspek Ijaz,
umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al-Qur’an, tapi
belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio-moral al-Qur’an untuk
kehidupan seharihari manusia. Begitu juga penonjolan aspek asbab al-nuzul
–bila terlepas dari nilai-nilai fundamental-universal yang ingin ditonjolkan- sudah
barang tentu bermanfaat untuk mempelajari latar belakang sejarah turunnya ayat
per ayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara
ajaran al-Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan
manusia dimana pun mereka berada. Dalam kaitannya dengan ini kita lalu
teringat, sekligus tertarik untuk mengkaji lebih lanjut kaidah penafsiran yang
berbunyi “al-‘Ibratu bi ‘umumi al-lafaldi laa bi khususi al-sabab”.
Titik tekan yang berlebihan pada asbab al-nuzul akan membawa kita secara
tak tersadari kepada pemahaman yang mengacu pada khususi al-sabab, bukan
pada bi ‘umumi al-lafaldi.[11]
2.
Hadits
Menurut jumhur
ulama’ hadits adalah segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah saw.,
sahabat atau tabiin baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering
dan banyak diikuti oleh para sahabat.[12]
Seiring dengan
waktu, ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman.
Penelitian hadits nampaknya masih terbuka luas terutama kaitannya dengan
permasalahan dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai dalam
berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian
hadits-hadits yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka
luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan.
Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik,
filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadits
sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, maka tampak bahwa pemahaman
masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat parsial.
3.
Teologi
Secara etomologis,
kata teologi diartikan ilmu agama, ilmu tentang Tuhan berkaitan dengan
sifat-sifatnya, khususnya berkaitan dengan kitab suci. Sedangkan dalam arti
istilah teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah ketuhanan,
sifat-sifat wajibNya, sifat-sifat mustahilNya dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan perbuatanya. Dengan demikian teologi adalah istilah ilmu agama yang
membahas ajaran dasar dari suatu agama atau suatu keyakinan yang tertanam
dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk agamanya, maka
perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang diyakininya.
Teologi,
sebagaimanaa kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku –bukan
sebagai pengamat- adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis.[13] Dalam
Islam terdapat teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya muncul
teologi yang bernama Khawarij dan Murjiah.
Menurut
Abuddin Nata, bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang
masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi
yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamannyalah yang benar sedangkan
paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat,
kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat,
dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam
keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan
dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak
terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan
(eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berdasarkan
uraian di atas, Amin Abdullah berpendapat bahwa pendekatan teologi semata-mata
tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi,
pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan
institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran
teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat
tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi
sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya
persoalan yang dihadapi umat beragama.
Sedangkan
studi historis dalam Islam mengarah pada aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim,
dalam pengertian yang lebih luas, meliputi; antropologi agama, sosiologi agama,
psikologi agama dan sebagainya.
1.
Antropologi
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya.
Dengan kata
lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam memilih
sesuatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropolog dalam kaitannya
ini sebagaimana dikatakan Dawan Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan
langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan
yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana
digunakan dalam pendekatan sosiologis. Pendekatan antropologis yang induktif
atau grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya
dengan upaya membebaskan dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya
sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih
ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan
kepada penelitian historis.[14]
2.
Sosiologi
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
iktan-ikatan antara manusia yang menguasahi hidupnya itu. Sosiologi mencoba
untuk mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan,
keyakinan yang membiri sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia.[15]
Dapat diartikan juga bahwa pendekatan sosiologi termasuk ilmu yang mempelajari
suatu nilai yang terdapat di masyarat yang menjadi objek kajian.
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah
pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak
didang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proposional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.
Besarnya
perhatian agama terhadap sosial ini mendorong kaum agama mendorong memahami
ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agama. Dalam bukunya yang berjudul
Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukkan bahwa besarnya perhatian
agama Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alasan sebagai
berikut;
a.
Dalam al-Qur’an
dan hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan
urusan muamalah.
b.
Bahwa
ditekankan masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah kenyataan bahwa
bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, melainkan masih tetap
dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.
Ibadah yang
mengandung hubungan kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih dari pada
ibadah yang bersifat individu.
d.
Kifarat (denda bagi
yang melanggar peraturan agama) berupa sesuatu yang berubungan dengan
kemasyarakatan.
e.
Ibadah yang
mengandung hubungan kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih dari pada
ibadah sunnah.
3.
Psikologi
Psikologi
atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
prilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Drajat,[16]
perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh
keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam,
hormat kepada orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk
kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala kegamaan yang dapat
dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan
oleh Zakiah Drajat, tidak akan mempersoalkan benar atau tidaknya suatu agama
yang dianut seseorang, melainkan yang ditingkatkan adalah bagian keyakinan
agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.
Psikologi
yang terkemuka dalam pendekatan psikologi terhadap agama adalah Sigmund Freud (1866-1939).
Freud berhasil merumuskan satu pendekatan dalam bidang psikologi agama, yang ia
sebut dengan psiko-analisis. Teori psiko-analisis Freud memandang bahwa
kepercayaan agama, seperti keyakinan akan keabadian, surga, dan neraka, tidak
lain merupakan hasil dari pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan
yang mempercayai adanyakekuasaan muthlak bagi pemikiran-pemikiran manusia.[17]
Pandangan
yang berkembang lainnya adalah bahwa sikap seseorang kepada Tuhan adalah
peralihan dari sikapnya terhadap bapak. Yaitu sikap Oedip yang bercampur
antara takut dan butuh kasih sayang. Selain itu, pandangan bahwa doa-doa
lainnya merupakan cara-cara yang disadari (Obsession) untuk mengurangi
dosa. Yaitu perasaan yang ditekan akibat pengalaman-pengalaman seksual, yang
kembali ke masa pertumbuhannya yang kompleks, Oedip. Dalam beberapa
tulisan, Freud selalu menampakkan sikap ateisnya karena ia menganggap agama
sebagai bentuk gangguan kejiwaan.[18]
C.
Negasi antara Islam Normatif dan Historis
Dilihat dari pengertian dan ruang lingkup antara pemahaman keislaman
dengan pendekatan normatif dan historis terdapat pembedaan dan terdapat titik
temu atau hubungan di antara keduanya.
1.
Perbedaan antara Islam normatif dan historis
Lebih jelasnya
akan perbedaan, penulis merangkungnya melalui tabel sebagai mana yang tertera
di bawah ini.
No.
|
Sudut Pandang
|
Normatif
|
Historis
|
1
|
Institusi
|
Keagamaan
|
Sosial
masyarakat (ekonomi, sosial, politik, pertahanan, dll)
|
2
|
Sifat
|
Eksklusif
[19]
|
Inklusif
[20]
|
3
|
Manfaat
|
Mengawetkan
ajaran agama dan sebagai pembentuk karakter pemeluk.
|
Mengkomunikasikan ajaran dengan keadaan riil yang ada.
|
4
|
Objek kajian
|
Tafsir,
hadits, teologi.
|
Antropologi, sosiologi, dan psikologi.
|
5
|
Corak
|
Literalis,
tekstualitas, absolutis, dan skriptualis
|
Reduksionis[21],
kontekstual
|
6
|
Konsep
|
Esoteris[22]
|
Eksoteris[23]
|
7
|
Pola
pikir
|
Deduktif[24]
|
Induktif[25]
|
8
|
Prilaku
|
Salaf, rigit (kaku)
|
Modern,
luwes
|
2.
Hubungan antara Normatif dan Historis
Kedua pendekatan ini bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda,
namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya tidak berdiri
sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan
terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang
kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap
dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman
manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan
ruang dan waktu.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang
bercorak normatif dan historis tidak selamanya akur dan sinergi. Hubungan
antara keduanya seringkali diwarnai dengan ketegangan (tension) baik
yang bersifat kreatif maupun destruktif (merusak). Pendekatan normatif di satu
sisi merupakan pendekan yang selalu berpijak pada teks yang tertulis dalam
kitab suci masing-masing agama sehingga pendekatan ini cenderung bercorak
literalis, tekstualis, atau skriptualis.
Sementara di sisi lain, pendekatan kedua, historitas, melihat kitab
suci dan fenomena keagamaan tidak melalui cara tekstualitas, namun dengan sudut
pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi demensional, baik secara
sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultur, maupun antropologis.[26]
Jenis pendekatan apa pun masih terdapat kekurangan, kelemahan masing-masing,
dan jauh dari memuaskan, karena fenomena agama bersifat komplek. Masing-masing
tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Religiositas atau
keberagamaan manusia pada umumnya adalah bersifat universal, infinite
(tidak terbatas, tidak tersekat-sekat), transhistoris (melewati batas-batas
pagar historis-kesejarahan manusia), namun religiositas yang begitu
mendalam-abstrak, pada hakikatnya tidak dapat dipahami dan tidak dapat
dinikmati oleh manusia tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang
konkret, terbatas, tersekat, historis, terkurung oleh ruang dan waktu tertentu
secara subjektif. Kedua dimensi religiositas tersebut, menurut M. Amin Abdullah
bersifat dialektis, dalam artian saling mengisi, melengkapi memperkokoh,
memanfaatkan bahkan juga saling mengkritik dan mengontrol.
Untuk meredakan ketegangan antara dua faksi pendekatan normativitas
dan historisitas, Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas”[27] dan
“integrasi”[28]
yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humiliy
(rendah hati), dan human (manusiawi).[29]
Berangkat dari paradigma “interkoneksitas”yang berasumsi memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, maka setiap bangunan
keilmuan apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun
kaealaman tidak dapat berdiri sendiri dalam menyatukan, saling menyapa antara
satu bangunan ilmu dengan lainnya, terutama sains dan agama.[30]
Interkoneksitas atas sains dan agama dapat didekati melalui tiga persepektif:
ontologis, epistimologi, dan aksiologi. Dari setiap pendekatan ini mampu
menawarkan padangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru, terbuka dan
dialogis serta mencairkan hubungan berbagai disiplin keilmuan agar menjadi
terbuka. Walaupun begitu, tidak bisa dihindari masih adanya persinggungan
antara wilayah tekstual, kebudayaan atau keilmuan, serta filsafat. Diharapkan
pradigma ini mampu memberikan perubahan cara berpikir dan sikap ilmuan.
Dengan pendekatan “integrasi” keilmuan ini seolah-olah diharapkan
tidak ada ketegangan, karena ada peleburan dan pelumatan yang satu kedalam yang
lainnya. Baik dengan cara melebur sisi normatif-sakralis keberagamaan secara
menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-propanitis”, atau justru sebaliknya,
dengan membenamkan dan meniadakan seluruh sisi historitas keberagamaan Islam ke
wilayah normatifitas-sakralitas tanpa reserve. Ini sebanarnya yang
menjadi alasan M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas”.[31]
Keberagamaan dapat diibaratkan “sinar”. Sinar tidak dapat dinikmati
secara konkret oleh manusia melainkan jika sinar tersebut telah
termanifestasikan dalam warna-warna tertentu (merah, jingga, kuning, biru,
hijau, dsb). Walaupun begitu,
warna-warna sinar yang beraneka ragam tersebut hanya bisa dinikmati secara
partikulistik. Salah satu warn yang bersifat partikulistik tidak dapat
mengklaim bahwa warna merah sajalah yang paling unggul, apalagi jika klaim
tersebut diikuti dengan keinginan dan tindakan ingin memerahkan seluruh yang
ada.
Berarti kedua pemahaman atas keberagamaan bisa bersanding dan
beriringan, jika pemahaman agama yang bersifat normativitas mau membuka diri
atas pemahaman yang berkembang sesuai kondisi keadaan yang sebenarnya. Begitu
juga pemahaman agama yang bersifat historisitas diharapankan mampu menahan diri
dan tidak memaksakan untuk memberikan pemahaman akan keberagamaan berdasarkan riil
kehidupan bermasyarakat dan mengenyampingkan dasar agama.
Untuk lebih jelasnya penulis akan menggambarkan bagan hubungan
antara pemahaman Islam dari sudut pandang normatif dan historis sehingga terbentuk
bangunanan keberagamaan yang kuat dan utuh. Adapun bagannya sebagai berikut.
Normatif
Tafsir
Hadits
Teologi
|
Historis
Antropologi
Sosiologi
Psikologi
|
Dialektika/
interkoneksitas
as
|
Islam
|
Antropologi
Agama
|
Sosiologi
Agama
|
Psikologi Agama
|
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Studi Islam dengan pendekatan normatif
adalah suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan
asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Sedangkan Studi Islam dengan pendekatan historis berarti suatu
ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan memperhatikan unsur
tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Ruang
lingkup studi normatif dalam Islam yang umumnya dikerjakan kaum Muslim sendiri
untuk menemukan kebenaran religius, meliputi studi-studi; tafsir, hadis, fiqh,
teologi, dan tasawuf. Sedangkan ruang lingkup studi historis mengarah pada
aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas,
meliputi; antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama.
Kedua pendekatan ini bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda,
namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya tidak berdiri
sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan
terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang
kokoh dan kompak. Untuk mampu saling mengisi dan melengkapi dibutuhan dialetika
antara keduanya dengan paradigma “interkonektifitas” dan “integrasi” antara
agama dan sains.
B.
Saran dan Kritik
Tiada gading yang tak retak. Penulis mengakui terdapat kekurang
yang begitu banyak terhadap makalah ini. Oleh karena itu penulis tidak sungkan
dan tidak malu-malu terhadap pembaca untuk kiranya mengoreksi dan memberikan
catatan terhadap tulisan singkat ini. Saran dan kritika yang membangun akan
senantiasa penulis butuhkan dan harapkan untuk lebih baik dalam lagi penulisan
karya ilmiah.
Daftar Pustaka
Abuddin
Nata. Metodologi Studi Islam, Depok: PT. Rajagrafindo Putra Utama
Offset, 2012, cet.XIX , hlm.34
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2003
Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V.
Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama,
dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli
Karim, Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
cet.II
Deden Ridwan, ed al. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001
Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara, 1983, cet. XIX
Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II,
Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, t.t,
Kuntowijaya, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi,
Bandung; Mizan, 1991, Cet.I
Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi Agama,
Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. I
Muhaimin, ed al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam,
Jakarta: Kencana, 2007, Cet. II
Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj)Abdul
Hadi W.M, dari judul asli Living Sufism, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985,
cet. I
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
1987.cet. I
Zuhairini, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
[1]
Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V, hlm. 9
[2]
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Depok: PT. Rajagrafindo Putra
Utama Offset, 2012, cet. XIX, hlm.34
[3]
atau pendekatan studi Islam secara konvensional merupakan pendekatan studi
dikalangan umat Islam yang berlangsung.
[4]
Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana,
2007, cet. II, hlm.14
[5]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 1
[6] Ali
Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003, hlm. 56
[7] Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi
Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. 1, hlm. 13
[8]
Kuntowijaya, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung; Mizan,
1991, Cet. I, hlm 328.
[9]
Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II, Mesir: Isa
al-Baby al-Halaby, t.t, hlm. 13
[10]
Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V, hlm. 139
[11] Ibid,
hlm. 139-140
[12]
Abuddin Nata, op. cit. hlm. 237
[13]
Amin Abdullah. op. cit. hlm. 29
[14]
Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama, dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi
Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. cet.II, hlm. 19
[15]
Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina
Aksara, 1983, cet. XIX, hlm. 53
[16]
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.cet.
I. hlm. 76
[17]
Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara
Wacana,20011, hlm. 104
[18]
Zakiah Raradjat, dkk., Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996,
hlm. 66.
[19]
Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan
pikiran dan diri islam sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan,
pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus
dijauhi. Agama Islam diyakini sebagai agama yang paling benar sedangkan agama
lain dianggap sesat dan tidak akan diterima oleh Tuhan. Pandangan ini
didasarkan pada ayat Al-Qur`an sebagai berikut:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hishabNya (QS. Ali Imron 3:19)
[20]
Islam inklusif merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap
terbuka dalam beragama dan dengan berhubungan dengan agama non muslim. Sikap
terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis
antar sesama warga masyarakat. Teologi inklusifisme ini dilandasi dengan
toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran
hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk
beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling
menghormati, menghargai, dan kerjasama Menurut pemahaman inklusif, bahwa
sesungguhnya ajaran Islam lebih bersemangat mengandug unsur inklusif daripada
ekslusif. Bahkan Islam melarang pemaksaan dalam beragama, artinya keberagamaan
seseorang harus dijamin. Umat Islam harus memberikan kesempatan dan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya. Ini
berarti inklusif menghormati dan menghargai kemajemukan agama.
[21]
Reduksionisme religius pada umumnya mencoba untuk menjelaskan agama dengan cara
meleburkannya bersama penyebab pandangan non-religius tertentu. Beberapa contoh
penjelasan reduksionistik tentang adanya agama: bahwa agama dapat direduksi
menjadi konsep kemanusiaan tentang benar dan salah, agama tersebut pada
dasarnya merupakan sebuah usaha primitif dalam mengendalikan lingkungan kita,
dan agama itu adalah cara untuk menjelaskan keberadaan fisik dunia.
[22]
Pengertian kata esoteris berasal dari bahasa Inggris, "esoteric",
yang berarti hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu saja.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata esoteris berarti aspek dalam batin, hakikat, inti atau
substansi, sebagai lawan dari aspek luar, aspek lahir, aspek syariat, dan aspek
materi. Maka yang dimaksud dengan Islam Esoteris adalah ajaran agama Islam yang
menekankan kajian pada aspek batin yang merupakan inti dari agama. Aspek batin
ini meliputi tujuan dari beragama, yaitu mencapai kehidupan yang sejahtera,
selamat, dan sentosa dengan jalan membersihkan dan mendekatkan diri kepada
Allah.
[23]
Dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial karya Prof. Dr. Said Agil Siroj
diterangkan bahwa Eksoteris merupakan ajaran lahiriah yng berupa simbol-simbol,
atribut-atribut, aksesoris-aksesoris, serta bentuk-bentuk legal formalitas
lainnya. Pada dimensi tersebut, semua agama memiliki aturan eksoteris yang
bervariasi, seperti rumah ibadah, bentuk peribadatan, acara seremonial, dan
lain-lainnya.
[24]
Penalaran deduktif, kebalikan dari penalaran induktif yaitu; menarik kesimpulan
dari prinsip/sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum. Dalam
kaitannya dengan keberagamaan maksudnya penalaran atau pola pikir deduktik adalah
cara berpikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak.
[25] Penalaran induktif yaitu proses penalaran untuk menarik kesimpulan
dari prinsip/sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat
khusus. Dalam kaitannya dengan keberagamaan maksudnya penalaran atau pola pikir
berawal dari rangkaian kejadian-kejadian khusus dalam mencari kebenaran.
[26] Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu
Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana,20011, hlm. 62
[27] Menurut Taufiq Wirdayanto atas simpulan keterangan dari Amin
Abdullah bahwa Secara epistemologi, paradigma interkoneksitas merupakan jawaban
atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang
diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang
adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri
sendiri, tanpa merasa perlu tegur sapa. Sedangkan secara aksiologis paradigma
interkoneksitas hendak menawarkan pandangan dunia (world view)
manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, open maindedness,
mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan
secara publik dan visioner. Secara ontologis, hubungan antar berbagai disiplin
keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas
wilayah antara budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks kitab
suci (normatif) dan budaya pendukung keilmuan kealaman (faktual-historis-empiris)
masih tetap saja ada.
[28] Integrasi merupakan upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu agama
(Islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial-humaniora).
[29] Ibid,
hlm. 64
[30] Ibid,
hlm. 65
[31] Ibid,
hlm. 64
Lengkap banget pembahasannya. Tapi Kayaknya ada yang kurang. Coba baca artikel ini Studi Islam Normativitas Dan Historisitasnya
BalasHapus