BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Makalah
ini coba saya mulai dengan cerita pengalaman saya ketika ditanya kawan dekat
saya. Ia bertanya, kenapa orang yang rajin beribadah ritual, seperti shalat
lima waktu, puasa dan bahkan sudah naik haji, akan tetapi kurang memiliki
kepekaan sosial yang tinggi. Dia tidak sensitif melihat tetangganya yang
kekurangan dan ketika dia dipinjam uang untuk keperluan saudaranya yang cukup
mendesak, dia tidak mau menolongnya.
Belum
lagi pertanyaan itu saya jawab, saya disuguhkan sebuah cerita dari kawan saya
tentang kondisi sosial sebagian masyarakat kita yang cenderung anarkis dan
represif dalam menyikapi isu-isu keagamaan dan perilaku keagamaan yang
menyimpang, penyerangan terhadap tempat ibadah salah satu organisasi masyarakat
yang berbeda dengan pemahaman mereka. Sampai penutupan warung yang dianggap
remang-remang dengan membakar dan menghancurkannya dengan cara yang tidak
berprikemanusiaan.
Munculnya
kelompok-kelompok yang dibangun atas dasar kebencian dan dan hasrat binatang
menjadi semakin liar ditengah masyarakat. Mereka mengisukan melawan
ketidakadilan, sekularisme, ateisme dan sifat kemungkaran lainnya dengan cara
kekerasan. Sehingga agama menjadi momok yang menakutkan dan terkesan jauh dari
tujuan awal didirikannya, karena agama semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam ajarannya.
Terhadap
pertanyaan tersebut saya menilai, agama itu tidak hanya terdiri dari dimensi
ritual saja. Akan tetapi keberagamaan itu harus mencakup berbagai dimensi.
Dimensi ritual menjadi satu dari bagian dimensi-dimensi keberagamaan. Jadi
apabila seseorang yang rajin melakukan ritual keagamaan namun tidak memiliki
kepekaan sosial yang tinggi, berarti ia belum menjalankan agama secara
keseluruhan.
Penulisan
makalah ini dilatarbelakangi beberapa alasan. Alasan pertama makalah ini
menjadi bagian dari tugas penulis pada mata kuliah Pengantar Studi Islam di Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab, Program Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim .
Namun
agar tidak terkesan tulisan ini hanya untuk kepentingan panulis, maka makalah
ini dibuat sedemikian mungkin agar dapat bermanfaat bagi setiap orang yang
ingin mengetahui tentang Agama melalui pendekatan dimensi-dimensi yang
melingkupi agama tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
hal ini, kita akan mengkaji dimensi agama menurut pemeluknya atau menurut
manusia tentang agamanya, atau agama menurut di luar diri agama itu sendiri.
Supaya lebih mengkerucut, maka pembahasan ini akan difokuskan pada dimensi
agama menurut Ninian Smart dan beberapa tokoh lainnya dengan penjabaran
singkatnya.
Beberapa
rumusan masalah ini dibuat agar pembahasan makalah ini dibatasi hanya pada
hal-hal berikut:
1.
Bagaimana pengertian Agama menurut para Tokoh?
2.
Apa Pengertian dimensi agama
dan bagaimana cara kerjanya dalam pendekatan memahami agama?
3.
Apa dimensi-dimensi dalam agama Islam?
C. Kerangka
Pemikiran
Agama
memiliki beberapa dimensi keagamaan yang antara satu dimensi dengan dimensi
yang lain memiliki ketersambungan dan berhubungan erat. Eratnya hubungan antara
satu diemnsi dengan dimensi yang lain dapat terlihat dari cakupan nilai
universalitas agama itu sendiri.
Agama
tercipta dan diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia, kemunculannya
dianggap sebagai solusi atas kekacauan yang terjadi di masyarakat, sesuai dengan
namanya yang diambil dari bahasa sansekerta a berarti tidak dan gama artinya
kacau, jadi arti agama secara sederhana adalah tidak kacau (meskipun secara
umum tidak sesederhana itu), namun dalam kenyataannya kita tidak bisa pungkiri
masih banyak terjadi peristiwa kekerasan atas nama agama, pertumpahan darah
serta merebaknya kebencian sesama manusia. Lalu yang menjadi pertanyaan, dimana
relevansi agama sebagai jawaban atas kekacauan umat kalau kita kaitkan dengan
berbagai peristiwa tersebut?
Kalau
kita cermati berbagai kasus di atas sebenarnya bukan disebabkan karena agama
itu sendiri, melainkan ketidakmampuan manusia dalam menyikapi setiap fenomena
yang terjadi di masyarakat yang sangat dinamis. Akhirnya terjadi keterputus
asaan kelompok-kelompok tertentu dalam memahami agama.
Dampak
dari pemahaman ini, seperti dicatat oleh Abdullah ahmad An-Naim, adalah
kesulitan penganut agama untuk berdialog dan berdampingan dengan perkembangan
social budaya . Agama menjadi kikuk dan kaku berhadapan dengan perkembangan zaman
yang dinamis. Mereka menolak dan menentang modernisme akibat ketidak sanggupan
mereka dalam memahami agama secara komprehensif.
Berdasarkan
defenisi atau pemahaman agama sebagaimana yang pernah kita dengar, maka kita
dapat membahas agama pada dua perspektif, yaitu agama menurut dirinya dan agama
menurut pemeluknya.
Kalau
memakai bahasa Immanuel Kant agama menurut dirinya itu adalah das ding an sich,
adalah agama yang objektif atau agama yang hanya dapat dipahami menurut
dirinya. Karena itu, tidak bisa mengukurnya berdasarkan ukuran kita. Agama yang
das ding an sich itu tidak mungkin bisa dimengerti keseluruhannya, sebab kita
hanya selalu di luar. Inilah yang menjadi dasar dari cara memahami agama atau
dalam kajian studi agama.
BAB
II
MEMAHAMI
AGAMA MELALUI DIMENSI-DIMENSINYA
A. Sekilas
tentang Ninian Smart
Sebelum
melangkah jaun membahas agama melalui dimensinya, penulis harus mulai dulu
mengenalkan seorang tokoh yang konsen mempelajari agama melalui dimensi-dimensi
agama, ia mencurahkan sebagian hidupnya untuk diabdikan kepada perdamaian dunia
melalui pemahan agama yang utuh, tidak parsial. Tokoh tersebut biasa dikenal
dengan nama Ninian Smart.
Nama lengkapnya adalah Roderick
Ninian Smart, dia adalah seorang Profesor Skotlandia sekaligus penulis dan
pendidik universitas. Dia adalah seorang pelopor dalam bidang studi agama
sekuler. Pada tahun 1967, Ninian Smart mendirikan departemen Study Agama pada
Universitas Lancester di Britania Raya dan mendapatkan dukungan langsung dari
wakil Kanselir, karena ia telah memimpin salah satu departemen paling bergengsi
dan terbesar di Britania Teologi di Universitas Birmingham.
Pada
tahun 1976, Ninian Smart menjadi Proofersor Rowny JF. Pertama dalam study
Perbandingan Agama-agama di University or California, di Santa Barbara Amerika
erikat, dan pada tahun 1979-1980 Smart mempresentasikan Kuliah Gifford. Pada
tahun 1996, Smart dinobetkan sebagai Senat Akademik Profesor Riset, professor
pangkat tertinggi di Santa Barbara.
Ninian Smart lahir di Cambridge,
Inggris, tempat ayahnya, William Marshall Smart (1889-1975) adalah John Couch
Adams Astronomim di Universitas Cambridge. Ibunya adalah Isabel (nee Carswell).
W. M Smart, yang meninggal pada tahun 1975, juga menjabat sebagai Presiden
Royal Astronomical Society (1950). Kedua orang tuanya berasal dari Skotlandia,
dan mereka pindah ke Glasgow tahun 1937, ketika WM Smart menjadi Regius
Profesor Astronomi (pension pada tahun 1959).
Ninian
Smart adalah salah satu dari tiga bersaudara, yang semuanya menjadi professor.
Jack (lahir 1920) menjadi professor filsafat, Alastair (1922-1992) adalah
professor sejarah seni di Universitas Nottingham. Ninian Smart menghadiri
Academy Glasgow sebelum bergabung dengan militer di tahun 1945 sampai 1948, di
Inggris cops Intelejen Angkatan Darat, di mana ia belajar falsafah Cina
(melalui teks konfusianisme) terutama di London school or Oriental dan studi
Afrika serta telah diparpenjang kontrak pertama dengan Sri Lanka Buddhisme. Ini
adalah pengalaman yang membangkitkan dia dari apa yang ia sebut tidurnya barat,
“dengan panggilan muliadan budaya beragam”. Meninggalkan tentara sebgai kapten-
dengan beasiswa untuk Queen’s College, Universitas Oxford, dia kembali ke
Glasgow, Klasik dan Filsafat, terutama karena stdi Cina dan Oriental pada masa
itu dianggap sebagai “kurikulum menyedihkan”. Namun, untuk itu ia belajar
kembali ke agama-agama dunia, menulis apa yang kemudian dia gambarkan sebagai
“disertasi pertama di Oxford pada filosofi Agama setelah Perang Dunia ke II”.
Selain
sebagai pengajar, peneliti dan penulis, smart juga merupakan seorang aktivis
dalam mempromosikan pemahaman lintas-budaya. Pada tahun 1970-an, ia terlibat
dalam beberapa inisiati di Britania untuk memperluas kurikulum pendidikan
public agama dan menyertakan berbagai agama dunia yang sebelumnya hanya sebatas
Kristen. Smart terlibat dalam pertemuan Majelis Agama Dunia (1985, 1990, 1992)
yang disponsori oleh Sun Myung Moon, pendiri gerakan Unifikasi dan menjabat
sebagai presiden Federasi Antar Agama untuk Perdamaian Dunia. Smart
berkeyakinan bahwa tanpa pemahaman yang lebih baik dari agama dan budaya, maka
perdamaian dunia akan tetap sulit dipahami.
B. Pembahasan
Studi
agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami
gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam
realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada
gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena
keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian
disebut “beragama”. Hal ini mengharuskan adanya unsur penelitian atas
aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama yang terkait dengan
simbolitas keagamaan.
Dalam
bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang
untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya
terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan
kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentuk dari
keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas,
yaitu :
1.
Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada
dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious
atau tidak religious.
2.
System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang
adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan
kehidupan abadi setelah kematian.
3.
System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system
kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan
Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4.
Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.
Roland
Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan berbagai macam ekspresi simbolik
tentang dan respon tepat terhadap segala nilai yang tidak terbatas bagi mereka
(Cavanagh, 1978: 20). Definisi ini memang terlalu umum sehingga perlu
batasan-batasan tertentu. Yang tampaknya paling tepat dalam pemberian batasan
ini adalah apa yang dikemukakan Charles Glock dan Rodney Stark yang
mengidentifikasi lima dimensi saling berbeda, namun hanya dengan kelimanya
seseorang disebut “religious”: eksperimental, ideologis, ritualistic,
intelektual, dan konsekuensional (Holm, 1977: 18). Berikut penjelasannya,
1.
Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya.
Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan
juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok
ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang
beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah
Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.
2.
Dimensi praktis,
terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai
suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima
sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk
pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal
pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional
adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya
berdoa, berpuasa, membaca Alkitab.
3.
Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan
Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam
kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa
menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah
seseorang mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di
awal ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin
meneguhkan iman percaya seseorang.
4.
Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman
keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran
gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama
(kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya
apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
5.
Dimensi etis, di
mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan
sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan
orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau
pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya
adalah benar adanya.
Pengalaman
agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup sekali dinyalakan.
Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus dapat dirasakan untuk
jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama tersebut haruslah senantiasa
direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui keikutsertaannya dalam
ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui relevansi dari (doktrin,
dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut hangatnya api akan hilang
dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal menjadi abu saja.
Sebelum masuk pada rumusan Ninian
Smart tentang dimensi agama, Joachim Wach menguraikan dengan sangat mendalam
tentang hakekat keberagamaan (religious experience), yaitu: 1) doktrin,
dogma, dan mite (Thought), 2) upacara agama dan pengabdian (Practive),
dan 3) organisasi atau kelompok-kelompok agama (followship) .
Sedangkan
Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis
pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai
suatu pandangan-dunia. Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience
Of Mankind (1967) menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian,
yaitu 1) dimensi praktis atau ritual, 2) naratif atau mistis (Narrative and
Mythic), 3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional),
4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and
Institutional), 5) etis atau legal (Ethical and legal), 6) doktrinal
atau filosofis (Doctrinal and philosophical), 7) dan material/bahan.
Dimensi
pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara
suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian,
dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama.
Dimensi kedua, emosional-eksperiensial
menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya
bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para
penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan,
kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang
penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di
mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi.
Dimensi
ketiga, naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk
direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan
ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang
bersangkutan.
Dimensi keempat, filosofis-doktrinal adalah
dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran
terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari
konsep-konsep yang dianut oleh agama itu.
Dimensi
kelima, legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan
bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan
system penghukuman kalau terjadi pelanggaran.
Dimensi
keenam, sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut
kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan,
dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material menyangkut barang-barang,
alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk pelaksanaan kehidupan agama
itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah.
Dan
dimensi ketujuh, yaitu dimensi material dan bahan seperti bangunan, seni ukir
dan beberapa kreasi lainnya.
Ketujuh
dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan.
Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai
dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan
dengan fungsi apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling
penting perannya. Posisi agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari
agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner.
Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk
menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”,
sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut
prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk
merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama
primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman
kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif
lebih banyak tabu, larangan, dan perintah.
Perbedaan
agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan
agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini)
menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi
legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak
dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain
yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan
teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian
dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama.
Sebagai
seorang fenomenolog dan filosof keagamaan, Ninian Smart mengidentifikasikan
tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi
historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan
pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam
agama yang ada.
Rumusan Ninian Smart tentang dimensi
agama tersebut dapat ditemukan pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono
Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya
tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi
religiositas sebagai berikut:
1.
Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan
sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural.
2.
Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk
gaib dan kehidupan setelah kematian.
3.
Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan,
berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama.
4.
Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang
agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama
atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.
5.
Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan,
praktek, dan pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan
lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.
C.
Dimensi-dimensi Agama dalam Konsep Islam
Menurut
Jamaluddin Ancok (1994) lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark di
atas, melihat keberagamaan tidak hanya dari dimensi ritual semata tetapi juga
pada dimensi-dimensi lain. Ancok (1994) menilai, meskipun tidak sepenuhnya
sama, lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark itu bisa disejajarkan
dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi
ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah, dan dimensi
konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak
adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup
penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan
pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan
dengan dimensi tasawuf atau dimensi mistik.
Dalam
perspektif Islam, keberagamaan harus bersifat menyeluruh sebagaimana diungkap
dalam Al-Qur’an (2: 208) bahwa orang-orang yang beriman harus masuk ke dalam
Islam secara menyeluruh (kaffah). Oleh karena itu seorang muslim harus
mempunyai keyakinan terhadap akidah Islam, mempunyai komitmen dan kepatuhan
terhadap syari’ah, mempunyai akhlak yang baik, ilmu yang cukup dan jiwa yang
sufistik.
Dimensi
Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang
harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai
kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama
satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini tertuang dalam
dimensi akidah.
Akidah
Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya berarti percaya
melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan
sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang
berjumlah enam.
Dimensi
Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang
disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang
dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di
sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada
perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah
dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama.
Dimensi
ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah
sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah. Ibadah yang berkaitan
dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang
bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi.
Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.
Dimensi
Konsekuensial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara langsung dan khusus
ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis. Walaupun begitu,
sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada umatnya
untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga,
menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat
baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya.
Perilaku
umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya
harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam
bahasa Hassan Hanafi (2003) iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan.
Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang
dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu,
terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat
Asghar Ali (1997) penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena
semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena
konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran
revolusioner teologi Muhammad.
Menurut
Nasution (1985) tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan hanya untuk
menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar
manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci sehingga mendorongnya
untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama manusia maupun kepada
lingkungan alam sekitar.
Dimensi Eksperiensial adalah bagian
dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi
agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu
unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah
Darajat, 1996). Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling
sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah
menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan
Ramadlan.
Pengalaman
yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami
oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang
sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding
sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena
dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi
setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi
karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta
(mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka
apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Pengalaman
keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi.
Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu
syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola
keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.
Dimensi
Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus
diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang
berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi
dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan
muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf, sejarah
dan peradaban masyarakat Islam.
Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana hubungan agama dengan ilmu? Hemat penulis, ilmu berada
di antara dua persoalan dalam agama, yaitu di antara yang sakral dan yang
profan. Ilmu merupakan penghubung keduanya, dengan kata lain penghubung antara
Tuhan dan Manusia. berkenaan dengan rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama,
dapat kita lihat dalam suatu studi kasus atau peristiwa di masa lampau untuk
mempermudah pemahaman. Misalnya, pertentangan Galileo dan Gereja Katolik, yang
mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi pertama dan kedua
(dan sesungguhnya ada juga unsur politis yang cukup kuat di situ). Selain itu,
ada pula persoalan pembacaan yang berbeda atas kitab suci, yang dalam uraian
Ninian Smart bisa masuk ke dimensi pertama, kedua, atau kelima. Belakangan ini,
di kalangan Kristen dan Islam ada pula kecenderungan untuk mencari kesesuaian
ayat-ayat tertentu dalam kitab suci dengan teori-teori ilmiah. Sementara itu,
kritik kaum agamawan terhadap pemanfaatan sains (misalnya produksi bom atom dan
nuklir; produksi teknologi pencemar lingkungan) atau penelitian ilmiah sendiri
(misalnya penggunaan binatang untuk percobaan kimiawi atau biologis; atau
manusia sebagai objek eksperimen medis dan psikologis) lebih menitikberatkan
pada dimensi ketiga (etis dan legal). Contoh lain pada dimensi ketiga adalah
pembicaraan tentang etika lingkungan, atau fiqih lingkungan di kalangan Muslim.
Contoh
kasus semacam itu merupakan contoh adanya ketegangan, yang sekaligus menandai
adanya titik-titik persentuhan, antara ilmu dan agama. Artinya, pada
titik-titik persentuhan itu, kita dapat berbicara juga mengenai kemungkinan
melakukan integrasi keduanya.
Dalam
teori ilmu (theory of knowledge), satu bagian menjadi tiga bidang
bahasan: ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai
integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada
tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang
ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour dan
John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih cenderung
melakukan integrasi pada tingkat ontology (dan, dari sisi agama, pada dimensi
pertama dan kedua dalam pambagian Smart).
Dalam
pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan berbentuk upaya
agama mengasimilasi bukan mengonstruksi suatu teologi berdasarkan apa yang
disebut “implikasi filosofis/teologis” dari teori-teori ilmiah. Sejajar dengan
itu, Van Fraassen, yang secara umum memang tak menyukai metafisika, melihat
agama lebih eksis dalam wilayah eksistensial manusia, bukan wilayah
pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan skema Smart, Van Fraassen tak
terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama. Menarik juga untuk melihat
bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour mungkin akan lebih tepat
digolongkan ke dalam “independensi”.
Lepas
dari itu semua, contoh-contoh tersebut telah cukup menggambarkan bagaimana
pandangan tentang hubungan agama dan ilmu (khususnya terkait dengan integrasi)
amat dipengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap bidang itu dipahami. Lebih jauh,
perhatian terbesar sejauh ini adalah pada dimensi ontology dan epistimologi
ilmu, atau dimensi filoosofis dan naratif agama. Terbatas pada wilayah ini pun,
ada beragam jenis integrasi yang bias dimunculkan.
Selain itu, bisa juga disimpulkan
bahwa meskipun tampak bahwa etika adalah salah satu bidang yang subur untuk
menumbuhkan pertemuan keduanya, nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang
belakangan, tampaknya bidang ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya
memang perlu perhatian yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu
dan agama.
Menurut Wiebe, gagasan-gagasan
Ninian Smart memunculkan asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi
agama. Ninian Smart terlihat menolak untuk mengikuti posisi “ateisme
metodologi”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti
komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari
agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan
bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan
bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan”. Petuah Smart ini “lebih mungkin
memasuki kajian religio-teologi tentang agama yang darinya kajian ilmiah
tentang agama pertama kali muncul”.
Berdasarkan
uraian-uraian sekilas tentang dimensi agama tersebut, tampak bahwa semua agama,
memiliki dua aspek penting, yaitu aspek normatif dan aspek historis. Barangkali
dalam bahasa Mercia Eliade, adalah yang sakral dan yang profan. untuk
mempertemukan dua hal yang saling bertolak belakang itu diperlukan suatu
penghubung, yang kemudian bisa disebut realitas tengah.
Hemat
penulis, supaya tidak terlalu jauh pembahasan dalam hal ini, sederhananya dalam
rumusan Ninian Smart agama dapat dijabarkan, bahwa realitas keberagamaan itu
terbagi dua. Sebab, prinsip realitas itu ada dua, yaitu realitas dalam dan
realitas luar. Atau dapat dikatakan realitas keberagamaan itu terbagi tiga,
yaitu realitas dalam, realitas luar, dan realitas ambang (tengah-tengah).
Prinsip realitas keagamaan dapat dibentuk skema sebagai berikut:
1.
Realitas Dalam Relitas Tengah Relitas Luar
2.
Tuhan Nabi, Wahyu Manusia, Umat
3.
Transenden, Sakral, Tak terhingga, di luar dan waktu normatif
Luminal, Ambang, Logos, Penghubung, dll Immanen, Profan, terhingga, di dalam
ruang dan waktu historis
4.
Rumusan Ninian Smart dalam Prinsip Realitas
5.
Praktis dan ritual Pengalaman dan EmosionalNaratif dan mistis
Doktrinal dan Filosofis Material/Bahan
6.
Etis dan legal Sosial dan Institusional
BAB III
SIMPULAN
A. Kesimpulan
Agama
itu tidak hanya mencakup satu dimensi ritual saja, namun satu dimensi agama
berjalan kelindan dengan berbagai dimensi lainnya yang saling berkaitan erat,
seperti dimensi praktis atau ritual, naratif atau mistis (Narrative and Mythic),
pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), dimensi sosial
atau organisasional/institusional (Social and Institutional), etis atau
legal (Ethical and legal), doktrinal atau filosofis (Doctrinal and
philosophical), dan material/bahan. Jika hanya salah satu saja yang menjadi
“andalan” beragama bagi seseorang, maka orang tersebut belum beragama secara
utuh, hanya parsial saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmed
An-Naim. 2004. Dekonstruksi Syariah, Yogyakarta: LKIS.
A. Sudiarja.
2006. Agama (dizaman) yang Berubah. Yogyakarta : Kanisius.
H. Dadang
Kahmad. 2000. Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama.
Bandung : CV. Pustaka Setia.
Eka
Darmaputera. 1997. “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar”.
Dalam Jurnal Teologi dan Gereja PENUNTUN, vol. 3, no. 12 (Juli),
Jakarta: Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat.
James L. Cox.
2006. A Guide to the Phenomenologhi of Religion: Key Figures, Formative
Influences and Subsequent Debates. New York : T & T Clark
Internasional,.
Koentjoroningrat.
1982. Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT. Gramedia.
Ninian Smart, 1989.
“The World Religions; Old Traditions and Modern Transformation. London
: Cambridge University Press.
Zainal Abidin
Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (ed). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi. Bandung : Mizan.
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Ninian_Smart, diakses pada tanggal 5 Mei 2015 pukul 11.44 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar